10: It's (Not) a Happy Day

4.8K 355 2
                                    

"Arel?"

Arel menoleh ke arah datangnya suara itu. Aku mengikuti perbuatannya.

"Ayah?" Tanya Arel dengan raut wajah penuh tanda tanya.

Dahiku mengerut.

Apa maksudnya?

Bapak-bapak itu tersenyum ramah padaku, tapi tidak dengan Arel.

Ia menatap Arel dengan tatapan tajam.

Ada apa?

Papa mengeluarkan suara setelah melihat ketegangan antara Arel dan mungkin ayahnya.

"Jadi ini adiknya Prima ya Pak Bram?" Tanya papa lengkap dengan wajah polosnya.

Aku pikir papa peka dengan ketegangan ini. Ternyata, aku salah.

Arel mengangguk, hendak menjawab 'iya'.

Belum sempat Arel menjawab, bapak-bapak yang namanya tadi sempat kudengar namanya Bram itu langsung angkat bicara.

"Bukan, dia bukan adiknya Prima. Dia juga bukan anak saya." Jawabnya tegas.

Aku menoleh pada Arel yang terlihat diam mematung tapi dari tatapan matanya, jelas sekali terlihat jika ia sedang terluka saat ini.

Arel mengangguk kaku, tanda menyetujui ucapan ayahnya.

"Oh saya kira tadi Arel adiknya Prima." kata papa, masih dengan wajah polosnya. "Mora, sini duduk."

Aku menduduki kursi di sebelah ayah dan memberi tanda pada Arel agar duduk di sebelahku.

Arel mengangguk lalu membungkukkan badannya sopan. "Permisi om."

Mama dan papa memberikan senyum ramah pada Arel dan Arel membalasnya.

"Mora, ini Pak Bramantyo dan anaknya, namanya Prima." kata ayah lalu diikuti anggukan dari om Bramantyo dan cowok di sebelahnya.

Cowok di sebelah om Bram tersenyum padaku, tapi menurutku itu bukan senyum ramah. Melainkan senyum....

Entahlah, aku tidak tahu.

Ayah melanjutkan ucapannya. "Papa berencana jodohin kamu sama Prima. Prima udah niat ngelamar kamu dari kemarin, tapi kamu dari kemarin pulang malem terus."

Mataku mendadak melebar, mulutku melongo.

APA-APAAN INI?

"Papa bercandanya nggak lucu deh. Dari kemaren kan aku belajar di rumah Arel terus, minggu depan ada ulangan." ujarku memberi tanggapan.

"Siapa yang bercanda sih? Ngapain papa bercanda."

Aku tertawa keras. "Mana ada anak SMA jaman sekarang yang mau kawin muda pa? Mora masih pengen kuliah kali." Jawabku lalu tertawa lagi.

Papa menatapku dengan arti berhenti bersikap seperti itu, nak.

Aku berhenti tertawa.

"Jadi serius?" Tanyaku sambil menatap mata papa.

Nggak ada kebohongan di matanya.

"Papa serius." Ujar mama mulai bersuara.

"Aku mau dijodohin sama siapa?" Tanyaku untuk memastikan.

Apa bener aku harus nikah sama cowok yang namanya Prima itu?

"Aku." Jawab orang di seberang sana.

Aku menoleh padanya. Prima.

"Pa, Ma, Om Bram, Pri siapa tadi nama lo? Gue lupa, pokoknya elo yang anaknya Om Bram, denger ya gue nggak mau nikah sama lo." Ujarku tegas dan diakhiri dengan jari telunjuk yang menunjuk Prima dengan tidak sopan.

Aku berlari keluar rumah, tidak tahu harus kemana.

Prima tampak mengikutiku dari belakang.

Aku berhenti dan membalikkan badan.

"Lo nggak usah sok sokan ngikutin gue." Teriakku di depan wajahnya lalu berlari kembali.

"Gue bakal buktiin kalo lo bakal bertekuk lutut di hadapan gue. Inget itu Mora Arhesa." Teriaknya setelah aku sudah berlari cukup jauh.

Aku terus terusan berlari dan berhenti di taman komplek perumahan yang sudah sepi.

Tangisku pecah di sana.

Apa yang mereka pikirkan?

Mereka kira aku bukan anak baik-baik yang tiap hari kerjaannya main cowok terus?

Atau mereka kira aku nggak laku?

Aku udah punya pacar kali.

Aku terus menerus mengeluarkan air mataku.

"Jangan nangis, gue selalu ada buat lo."

***

AM-PMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang