15: First Kiss?

4.3K 289 5
                                    

Makanan yang kami pesan sudah habis sejak setengah jam yang lalu.

Aku masih berdiam diri di bangkuku.

Rencana yang kususun sejak aku pindah ke kursi ini masih belum aku lakukan.

Entah, aku masih bingung sendiri dengan rencanaku itu.

Aku menatap ke arah mama yang asyik sekali berbicara dengan tante Vena.

Aku mengalihkan tatapanku pada papa. Sama dengan mama, papa sangat asyik berbicara dengan om Bram.

Kalau aku dengar sekilas, papa sedang membahas tentang pekerjaan.

Dan mama.

Mama dan tante Vena membahas....

Pernikahanku.

Sip.

Gue bakal jadi istri.

Aku mengambil handphone di meja.

Belum sempat aku menekan tombol on, mama memanggil-manggil namaku dan cowok nggak jelas di sebelahku.

Dan ada kata pernikahan.

"Mora, Prima, gimana kalo pertunangan kalian diadain setelah Mora ujian akhir semester? Jadi waktu liburan. Gimana?"

Prima menjawab dengan enteng. "Lebih cepat, lebih baik tante."

Aku melotot ke arahnya. "Nggak usah."

Mama menanggapi ucapanku dengan senyuman. "Jadi nggak usah tunangan?"

"Nggak usah." Jawabku kesal.

"Oke, berarti langsung nikah aja ya?" Tanya mama dengan wajah sangat girang.

Mataku melotot.

Aku tersedak ludahku sendiri.

"Nggak usah tunangan. Nggak usah nikah." Jawabku sambil menggebrak meja lalu membalik badan dan berjalan keluar dari restoran.

Aku butuh udara segar.

Aku berjalan menuju taman dan berdiri di bawah pohon.

Malam ini, bintangnya banyak. Aku suka.

Saat aku sedang memandangi langit, aku mendengar suara langkah kaki dari belakang pohon.

Siapa lagi?

"Hai cantik." Ujar cowok dodol itu sambil menyunggingkan senyum sok tulusnya.

Aku tidak menoleh ke arahnya.

Takut langsung kena katarak.

"Sendirian aja?" Tanyanya sambil mendekat ke arahku.

"Pacarnya mana?" Tanyanya lagi.

"Eh lupa, gue kan calon suami lo, otomatis gue pacar lo kan ya?" Tanyanya lagi lagi.

Sumpah, ini cowok banyak bacot.

Nggak penting banget.

Aku memutar badanku, menghadapnya.

"Bisa gerak ternyata ya, kirain rematik." Ujarnya lagi.

Selain dodol, ternyata Prima juga berisik.

"Lo kok banyak bacot ya?" Tanyaku sambil memberi tatapan mengintimidasi.

"Jutek banget sih, ntar cantiknya ilang." Jawabnya sambil menyolek daguku.

Jijik sumpah.

"Najis." Jawabku sambil menepis tangannya.

Ia menyeringai.

Aku merinding takut.

"Gue calon suami lo. Wajar kali kalo gue megang lo kayak gitu. Termasuk ini." Ujarnya dengan tatapan mata yang membuatku bergidik ngeri.

Ia tersenyum. Entah senyum apa.

Lalu, ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Apa yang harus aku lakukan?

***

AM-PMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang