12: Arel's Past

4.6K 371 4
                                    

Ia melepaskan pelukannya. "Udah ah, gue jadi mellow banget hari ini." Ujarnya yang langsung membuatku tertawa geli.

"Eh iya, Om Bram itu siapa? Ayah lo?"

Ia terdiam sejenak.

Seperti memikirkan sesuatu.

"Rel?" Tanyaku untuk menyadarkannya.

Arel masih terdiam.

"Kalo lo nggak mau cerita sekarang, nggak apa-apa. Tapi, gue selalu siap dengerin cerita lo kapanpun." Ujarku sambil tersenyum.

Arel mulai membuka mulutnya. Dari matanya, ia terlihat rapuh saat ini.

"Dulu gue punya ayah. Tapi itu dulu." Jawabnya dengan suara sedikit tercekat.

"Dulu, ayah sayang banget sama gue sama bunda. Dulu waktu gue masih kecil, hidup gue bahagia banget. Sampe akhirnya dateng perempuan yang ngebuat sayang ayah ke gue sama bunda ilang gitu aja.

Setahu gue, perempuan itu mantan ayah. Dia hamil duluan waktu ayah masih pacaran sama dia. Ayah mau nikahin dia, tapi ibunya ayah nggak setuju, soalnya perempuan itu udah hamil sebelum nikah, walaupun yang ngehamilin itu ayah.

Setelah beberapa tahun ayah sendiri dan nggak pernah ngehubungin mantannya lagi, ibunya ayah ngejodohin ayah sama bunda. Ayah nikah sama bunda, awalnya mereka emang nggak saling sayang, tapi lama-lama mereka terbiasa, setelah itu gue lahir.

Umur pernikahan orang tua gue lima tahun waktu itu, gue masih umur empat tahun. Waktu itu gue lagi main di ruang tamu. Tiba-tiba ada bel bunyi. Pas gue buka, ternyata ada perempuan seumuran bunda, dia bawa anak cowok yang umurnya mungkin kira-kira lebih tua dari gue lima tahun, mungkin waktu itu dia umur sembilan tahun.

Gue diem. Gue nggak ngerti maksud dia dateng ke rumah.

Ayah dateng dari arah belakang gue. Dia kelihatan bahagia banget ngeliat perempuan itu.

Perempuan itu bilang ke anaknya, 'Ini papi kamu.'

Dan setelah itu anak cowok yang dibawa perempuan itu meluk ayah, ayah bales pelukan anak itu terus gendong dia.

Gue nggak paham sama apa yang mereka lakuin. Gue pergi ke dapur buat cari bunda, bunda gendong gue ke kamar. Gue tau bunda lagi sedih, tapi dia nggak mau ngeliatin sedihnya itu ke gue.

Beberapa hari sejak perempuan itu datang ke rumah gue, ayah sama bunda bertengkar terus.

Gue yang nggak ngerti apa-apa, dibawa bunda ke rumah nenek di Bandung. Yang sekarang gue ngerti, ini buat kebaikan gue juga.

Setelah sekitar dua minggu gue tinggal sama nenek, bunda dateng ke rumah nenek, tapi nggak bareng ayah.

Bunda dateng ke gue, dia minta izin buat balik ke jakarta. Dia bakal kerja buat nyukupin kebutuhan hidup.

Gue pikir, semua bakal baik-baik aja. Gue pikir ayah sama bunda nggak kenapa-kenapa.

Ternyata gue salah besar. Bunda nggak bakal baikan sama ayah. Dan ayah, lebih milih mantannya itu daripada bunda.

Semenjak itu, gue besar di Bandung. Bunda pulang tiap seminggu sekali.

Dan pas gue kelas sebelas kemarin, bunda gue mutusin buat mindahin sekolah gue ke Jakarta. Kata bunda, biar gue bisa masuk di universitas bagus."

Arel terlihat sangat tegar.

Ia mengakhiri ucapannya dengan senyum manis yang terlihat sedikit dipaksakan.

Aku membalas senyumannya.

Beban hidup Arel memang berat.

"Lo tau restoran yang tadi siang?" Tanyanya sambil menatap langit.

"Iya, kenapa?"

"Itu punya bunda. Usaha yang bunda punya setelah dia resmi cerai dari ayah." Jawab Arel yang terlihat sangat bangga pada bundanya.

"Restoran itu bukannya cabangnya udah banyak ya?" Tanyaku sambil mengingat-ingat nama restoran yang tadi siang aku dan Arel kunjungi.

Arel mengangguk. "Dan semua itu modalnya dari bunda, bunda yang bangun semua dari awal tanpa bantuan ayah sedikitpun."

"Gue salut sama bunda lo, Rel." Ucapku lalu menepuk bahu Arel.

"Gue sayang banget sama bunda." Gumamnya pelan.

"Bunda lo itu tante Dian kan?" Tanyaku kikuk.

"Ya iyalah. Emang bunda gue ada berapa?" Tanyanya balik lalu tertawa renyah.

"Pas gue ke rumah lo kapan hari, tante Dian kan lagi nggak ada di rumah, bisa aja bunda lo itu bi Ijah kan?"

Arel tertawa keras. "Ya kali bunda gue bi Ijah."

"Bentar deh Rel, terakhir lo ketemu sama ayah lo kapan?" Tanyaku agak janggal karena ayah Arel tadi terlihat sangat mengenali Arel.

"Mungkin dua bulan yang lalu waktu gue lagi ada di restoran bunda yang tadi siang. Ayah, tante Vena sama kak Prima lagi makan di sana. Ayah ngeliat bunda yang sibuk mondar-mandir ngurusin restorannya.

Ayah diem-diem ngedatangin bunda. Dia minta ketemu sama gue. Gue sih biasa aja, tapi entah kenapa ayah natap gue kayak nggak suka gitu.

Sampe tadi, ayah natap gue tajem, kayak nggak suka sama gue. Padahal gue nggak pernah punya pikiran buat benci sama ayah, walaupun ayah udah nyakitin gue sama bunda."

"Jadi ibu tiri lo namanya tante Vena?" Tanyaku dengan mata terbelalak.

"Iya, kenapa?"

"Gue sering denger mama telponan sama orang yang namanya Vena, ternyata itu ibu tiri lo. Berarti, ibunya Prima ya?"

"Iya."

"Gue nggak mau nikah sama Prima, Rel." Ujarku mengingat-ingat rencana perjodohanku tadi siang.

Arel menggenggam tanganku. "Gue yakin, kak Prima cowok yang baik buat lo. Dia kakak gue, lo pacar gue. Kalian semua orang yang gue sayang. Gue mau kalian bahagia."

Aku tersenyum. Aku ingin membalas ucapan Arel, tapi....

"Lo berdua ngapain?"

Sebuah suara terdengar seperti sedang menginterupsi kami.

Aku menoleh ke arah datangnya suara.

Astaga, dia lagi.

***

Di part ini, ceritanya agak banyak ya. Aku lagi khilaf ngetiknya wkwk.
Oiya baca cerita aku yang satunya ya, judulnya komidi putar.

Jangan lupa vote sama commentnya.

Makaaaaasi(((((((((:

AM-PMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang