Celin melihat dengan geram undangan cantik di depannya yang berhiaskan pita emas dipadukan warna softpink yang memberikan kesan elegan. Dibantingnya benda itu ke meja di depannya dengan keras saat melihat nama yang terpampang jelas yang semakin membuatnya naik darah.
Davian Stefaro
&
Kanyara Nandika"Brengsek bajingan kau ...." caci maki terus keluar dari bibirnya meski dia tahu orang yang ingin dia berikan sumpah serapah tidak berada di depannya.
"Dasar kau sama saja seperti lelaki lain, kau brengsek, kau brengsek, brengsek ... Ahh ... brengsek." Perlahan pertahanannya goyah, isakan lirih mulai memenuhi ruangan, bulir air yang tidak ingin dia keluarkan malah membasahi pipinya dengan deras, tubuhnya luruh ke sofa sambil menahan gejolak rasa sakit yang bersarang di hatinya.
"Apa salahku Dav ... apa salahku," racaunya pelan penuh kesedihan, hidupnya sudah hancur ketika dia melihat undangan itu, tidak ada lagi artinya dia hidup jika lelaki yang sangat dicintai dan ditunggunya ternyata akan menikah dengan orang lain tanpa sepengetahuannya.
Sementara itu sosok lelaki yang sedari tadi mengamati Celin dari balik meja kerjanya mendesah pelan. Lelaki itu bangkit dan berjongkok tepat di depan Celin. Dengan sekali sentakan diraihnya tubuh mungil Celin ke dalam pelukannya , menyalurkan rasa hangat dan ketenangan untuk wanita rapuh yang sudah dikenalnya sejak lama.
"Kenapa dia tega Vin, kenapa dia tega nyakitin aku. Aku selalu menjaga hatiku seperti yang dia katakan, aku selalu menyimpan namanya di hatiku seperti yang dia harapkan, tapi sekarang dia malah akan menikah dengan wanita lain, kenapa bukan aku, kenapa harus wanita lain Vin, kenapa ...." Celin memukul dada Vino dengan kepalan tangan yang sama sekali tidak berdampak sakit pada tubuh Vino.
Vino lebih mengeratkan pelukannya saat mengetahui Celin semakin terisak. "Maafkan aku Cel, sebenarnya aku sudah mengetahui hal ini sejak seminggu lalu, tapi aku takut membuatmu tersakiti seperti ini jika memberitahumu. Pada akhirnya, bagaimanapun juga aku harus memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan buang air matamu untuk lelaki brengsek seperti dia yang tidak bisa menepati janjinya padamu, lupakan dia, buang dia, dan relakan dia. Dia tidak pantas untukmu." Vino memundurkan tubuhnya dan menghapus air mata yang membasahi pipi Celin, meskipun dia tahu bahwa Celin akan menangis lagi dan lagi tetapi hal ini tak membuat Vino berhenti untuk terus mengahapus bulir bulir itu dari wajah cantiknya.
"Hei aku menyayangimu, aku tidak ingin melihat kau seperti ini. Seandainya dia bukan orang yang kau cintai, aku sudah menghajarnya sekarang dan menyuruh dia berlutut di hadapanmu sambil memohon maaf kepadamu. Please Cel jangan menangis."
Celin mencoba menggantikan tugas Vino untuk menghapus air matanya, dia menatap Vino sejenak dan dapat melihat kekhawatiran berada di manik lelaki itu.
"Vin boleh aku meminta waktu? Aku ingin sendiri. Jadi bolehkah aku ...," belum sampai kata katanya terucap sempurna Vino sudah menyahutinya.
"Tentu sweetie, kau boleh membolos kerja hari ini. Di sini aku pimpinannnya, siapa yang akan berani mencegahmu, laporkan saja padaku." Celin sedikit terkekeh mendengar penuturan Vino yang berasa seperti dia pemilik perusahaan ini. Memang benar perusahaan Celin kerja adalah perusahaan keluarga Vino tapi Pak Raka (papa Vino) masih memberi percobaan kepada Vino untuk membuktikan bahwa dia pantas menjabat sebagai CEO di perusahaan sebesar ini atau tidak.
"Aku pergi sekarang , thanks for all Vin."
"Hei Cel kau terdengar seperti akan pergi selamanya, jangan berpikir untuk berbuat macam macam, aku tidak ingin terjadi apa apa kepadamu."
"Kalaupun aku harus pergi maka orang pertama yang akan aku seret ke neraka adalah Davian, karena dia yang membuatku ingin meninggalkan dunia ini," gumam lirih Celin yang masih terdengar dalam pendengaran Vino. Tanpa Vino dapat mencegah, Celin sudah berjalan keluar dari ruangannya sambil menunduk menyembunyikan wajahnya yang sangat tidak baik dengan rambut coklat yang digerainya.
"Dan jika kau harus pergi maka aku orang pertama yang akan menyusulmu."
***
Celin menjalankan kaki jenjangnya dengan cepat, stiletto yang cukup tinggi tidak membuatnya kesusahan untuk membuka langkahnya lebar lebar. Dia ingin segera pergi dari kantor ini, menyendiri, merenung, menangisi, menyesali, melakukan semua hal yang dilakukan oleh orang yang biasanya diputuskan kekasihnya.
Oh sepertinya tidak, karena Celin akan berharap setidaknya nasibnya sama seperti orang yang diputuskan oleh kekasihnya. Davian seharusnya memberitahu dulu hal ini kepadanya. Jika lelaki itu sudah tidak mencintainya seharusnya dia datang dan berbicara baik baik dengan Celin, bukan meninggalkannya dengan seegois ini sambil mengumbar kabar pernikahannya. Itu semakin menyakiti hati Celin.
Satu hal lagi yang dia baru ingat. Kekasih? Cinta? Dia sadar bahwa tidak pernah memiliki itu dari Davian.
"Hati hati nona, kau bisa terjatuh jika tidak melihat ke depan apalagi dengan hak setinggi itu." Celin mendongakkan wajahnya dan bertemu dengan pria bermata hazel yang juga menatapnya dengan datar, sepertinya Celin tidak sadar bahwa sudah menabrak pria di depannya karena tangan pria itu sudah berada dibahu Celin.
Celin sedikit melihat keterkejutan dimata pria itu yang sama sekali tidak membuat dirinya heran, siapa juga pasti akan heran melihat wajah Celin yang berantakan dengan make up yang sudah tidak berbentuk karena air mata yang sedari tadi tumpah dan mata merahnya akibat berlama lama menangis.
"Maaf, saya akan lebih berhati hati." Dengan cepat Celin meninggalkan lelaki itu tanpa mau menatapnya lagi, di lain hari pasti Celin akan malu jika bertemu lelaki itu lagi mengingat sepertinya dia rekan kerja Vino.
Celin akui lelaki tadi sangat tampan, tapi hatinya terlalu lelah menerima rasa sakit untuk kedua kalinya. Dia tidak akan lagi dengan mudah membuka hatinya. Cukup kali ini saja dia merasakan sakit yang begitu dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect CEO
RomanceDihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya yang tidak bisa dicegah membuatnya merasakan semua hal yang dulu telah dirampas darinya dengan paksa. ...