"Ada yang bisa kubantu?" Vano mengetukkan jari jarinya di atas meja tak berirama.
"Tidak. Kau diam saja di sana. Oh ya aku punya brownis coklat, kau mau?" Celin berkata tanpa menoleh ke arah Vano yang berada di belakangnya. Dirinya sudah cukup sibuk melumuri ayam yang sudah direndam selama 30 menit dengan saus tiram, merica dan kaldu bubuk. Hanya tinggal menyelupkan ke tepung terigu, kocokan telur, campuran tepung maizena dan tepung bumbu, digoreng dan siram dengan saus yang tadi sudah dibuatnya terlebih dahulu, dan steak ayam chrispy sudah jadi.
"Boleh, dimana? Di kulkas? Aku akan mengambilnya sendiri."
Celin mengangguk dan Vano segera menuju lemari pendingin Celin yang kebanyakan berisi sayuran dan daging ayam. Diambilnya brownis yang berada di kotak bening sekaligus dengan garpunya.
"Hmm tidak terlalu buruk," komentar Vano saat memasukkan satu suapan ke mulutnya. Kemudian satu suapan itu mengundangnya untuk merasakan suapan suapan lainnya yang bahkan tidak terhitung.
"Kau belum selesai? Aku masih lapar."
"Tunggu, tinggal menata sayuran pelengkapnya." Celin memandang puas hasil berkutatnya di dapur selama hampir satu jam.
Saat mereka sampai di apartemen Celin tadi, Vano sudah merintih kelaparan dan dengan terpaksa, juga perasaan tidak tega sebenarnya, Celin menyetujui kemauan Vano untuk memasakkan makanan untuknya. Akhirnya mereka harus menunda pembicaraan yang dibilang cukup penting oleh Vano.
Celin meletakkan piring yang sudah tersaji tiga potong dada ayam yang terlihat menggiurkan dengan saus yang membanjirinya.
"Kau tidak makan?" Vano memandang heran Celin saat mengetahui wanita itu hanya membuat satu porsi saja.
"Tidak, aku sudah makan nasi goreng Mamamu. Dan sekarang balas budiku adalah memberimu makan masakanku. Dan kujamin pasti kau akan ketagihan." Celin tersenyum lebar, menyombongkan masakannya yang benar benar diyakini memiliki rasa tidak kalah dengan restoran berkelas lainnya. Bagaimana tidak? Dia sering mengikuti pelajaran memasak yang ada di televisi, bahkan sampai dengan rela mengikuti program untuk belajar memasak yang membuatnya merogoh uang untuk tiap kehadirannya. Dan hasilnya cukup memuaskan, melihat kini dia sudah cukup mampu menguasai banyak masakan.
Vano terkekeh mendengar penuturan Celin. "Tapi kau tahu sendiri aku tidak akan bisa memotong ayam ini sendiri." Celin baru ingat jika tangan Vano yang menjadi tumpuannya hanya tangan kanan , dengan perlahan Celin berdiri dari kursi yang berada di depan Vano dan beralih ke kursi kosong di samping lelaki itu.
"Akan kupotongkan." Celin mengambil garpu dan sendok, memotong daging ayam di depannya dengan ukuran yang lebih kecil lagi. Setelah selesai, dia memberikan kembali piring itu kepada Vano.
"Aku akan mandi, tubuhku lengket." Celin melihat Vano hanya merespon dengan anggukan. Laki laki itu terlalu sibuk dengan makanannya, kekeh Celin dalam hati.
***
Celin keluar dengan rambut yang masih basah. Dilihatnya Vano sudah duduk tenang di depan televisi, entah menonton apa pada benda bututnya itu. Dengan cepat Celin masuk ke kamarnya dan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer.
"Jadi, apa yang hal yang akan kita bicarakan." Celin menjatuhkan tubuhnya di samping Vano, melihat kelayar kotak yang juga sedang diperhatikan Vano sedari tadi.
"Tentang pertunangan kita." Vano mematikan televisi di depannya dan memutar tubuhnya tepat menghadap ke arah Celin.
Celin tidak terkejut, karena permasalah awal mereka memang acara pertunangan yang ditentukan sepihak oleh Martha.
"Oke. Jadi apa menurutmu? Kau akan menyetujuinya?"
"Kenapa tidak?" Vano terkekeh saat Celin memutar bola matanya, mungkin wanita itu sudah agak kebal dengan rayuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect CEO
RomanceDihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya yang tidak bisa dicegah membuatnya merasakan semua hal yang dulu telah dirampas darinya dengan paksa. ...