Celin menghela nafasnya. Jika bukan karena Vano, dia tidak akan pernah membuang waktunya selama 12 jam hanya untuk berada di dalam mesin berbentuk burung yang melayang di atas tanah.
Apalagi setelah menginjakkan kakinya, hawa dingin langsung menusuk kulitnya. Memberi tikaman tajam yang tak terelakkan.
Celin merapatkan mantelnya yang terbuat dari wol yang sangat tebal, berharap bisa memberikan kehangatan pada tubuhnya. Siapa juga yang bisa menghentikan musim dingin di Jerman pada bulan Januari seperti ini.
Setelah kemarin dia baru sampai di Berlin, Celin langsung check in ke hotel yang disarankan Diane. Cukup nyaman, tidak terlalu mahal, dan dekat dengan stasiun. Tidak lupa juga dibacanya peta mini yang menunjukkan gambaran jalan-jalan serta beberapa bangunan di kota Berlin. Sedangkan untuk letak perusahaan Vano sendiri memang tidak terlalu jauh, bisa dijangkau dengan U-Bahn apalagi letak stasiun hanya perlu berjalan 10 menit dari hotelnya. Tapi entah nantinya Vano mau bertemu dengannya atau tidak.
Selain memberikan alamat kantor, Diane juga berbaik hati menunjukkan alamat kediaman rumah Vano. Bukan apartemen tapi rumah. Sepertinya laki laki itu memang sudah terikat dengan negara ini. Tapi juga ada tambahan dari Diane. "Vano jarang sekali berada di rumahnya. Terkadang lelaki itu menghabiskan malam di kantor, lagipula dia juga punya kamar pribadi di ruangannya. Jadi jika kau ingin lebih cepat menemui Vano, lebih baik ke perusahaannya saja," katanya saat itu.
Dan di sinilah dia berada. Dengan penutup kepala yang melindungi telinganya, sarung tangan yang cukup hangat, juga sepasang bot selutut yang senada dengan mantel coklatnya. Celin berdiri di hadapan bangunan tinggi yang dengan jelas terdapat tulisan Greenoil di tengah-tengahnya.
Dia tidak yakin apa diperbolehkan menemui Vano, mengingat Vano adalah CEO perusahaan sebesar Greenoil.
Sebagai sekretaris, Celin juga mengetahui jika ingin bertemu dengan para petinggi seperti itu harus menghubungi sekretarisnya dan membuat janji terlebih dahulu yang diyakini akan membuatnya kerepotan.
Tapi apa salahnya mencoba bertanya?
"Excusme ...." Celin berusaha menarik perhatian resepsionis yang sedang memegang telepon kabel dengan tangan kanannya. Kemudian wanita itu menoleh ke arah Celin dan menutup telponnya.
"Can I help you Miss?"
"Emm ya, bagaimana caranya jika saya ingin bertemu dengan Vano? Maksud saya Mr.Revano Azka Fernandes?"
Wanita dengan bibir yang cukup tebal itu menaikkan alisnya mendengar penuturan Celin. Hanya sekilas, karena ekspresinya langsung berubah lagi seperti semula, datar.
"Mr.Vano? Anda harus menghubungi sekretarisnya terlebih dahulu dan membuat janji," jawabnya sopan. Celin sudah menduga jika itu yang harus dia lakukan, dia tidak bodoh jika kalian pikir Celin akan berteriak teriak memanggil nama Vano dan lelaki itu akan muncul dengan sendirinya.
"Bagaimana jika saya menunggu di kursi sebelah sana? Apa diperbolehkan? Saya akan menunggunya sampai pulang." Sedikit terkejut dengan perkataan Celin tapi kemudian resepsionis itu mengangguk.Mungkin pikirnya daripada menunggui bosnya yang terkadang bisa berhari-hari tidak keluar dari ruangannya mengapa tidak berada di rumah saja, membuat coklat panas, dan membaca buku di depan tungku perapian.
Celin tersenyum sopan, setelah mengucapkan terimakasih, dia menuju ke deretan bangku yang kosong dan mencoba menunggu Vano.
Diane bilang bahwa dia sudah berusaha menghubungi Vano dan sekretarisnya. Tapi hasilnya nol. Mungkin Vano memerintahkan sekretarisnya untuk mengganti nomor atau apa yang pasti Diane sudah kehilangan kontak dengan Vano. Bahkan email yang dia coba kirimkan saja tidak pernah dibalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect CEO
RomanceDihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya yang tidak bisa dicegah membuatnya merasakan semua hal yang dulu telah dirampas darinya dengan paksa. ...