Bab 12

362K 17.9K 165
                                    

"Oke cukup aku tidak tahan lagi." Ray berdiri dari duduknya yang hampir berdiam selama setengah jam karena suasana mencekam yang dia rasakan.

Geno dan Nathan yang juga ikut membisu, mulai berdiri mengikuti Ray yang sedang berkacak pinggang.

"Apa yang terjadi sebenarnya dengan kalian berdua?"

"Aku sampai menahan nafas dari tadi," timpal Geno.

"Kau tidak melihat banyaknya keringatku yang keluar padahal di sini terdapat dua AC?" Nathan membuka kancing kemeja teratasnya sambil membuat gerakan mengipas dari tangannya.

Mereka bertiga memang berniat menjenguk Vano, tapi saat mereka sampai tidak ada yang berani membuka mulut melihat bagaimana sikap Vano dan Vino yang sama sama diam dan saling mengacuhkan. Ray yang tidak tahan dengan keadaan yang menurutnya agak canggung ini, langsung saja berdiri dan membebani kedua kakak beradik itu dengan pertanyaan sarkatis.

"Hei jawab aku. Kalian ada masalah?"

Hening, tidak ada yang menyahuti seakan Ray tidak pernah mengeluarkan suaranya.

Ray yang melihat itu mengacak rambutnya dengan kasar. "Oh aku tidak tahan lagi. Aku keluar dari sini. Awas saja jika aku sudah kembali tapi sikap kalian masih seperti anak ABG." Geno dan Nathan yang juga membenarkan perkataan Ray dengan selalu mengangguk setiap Ray berbicara pun mengekori Ray keluar dari kamar yang mempunyai aura gelap itu.

Sepeninggalan mereka, Vano dan Vino masih enggan berbicara.

"Aku sudah tau." Vino mengawali tanpa mau melihat wajah sang kakak.

"Aku tau," sahut Vano singkat.

"Lalu?"

"Lalu?" Vano mengulagi pertanyaan Vino yang tidak dimengerti maksudnya.

Vino menghela nafas. "Lalu apa yang akan kau lakukan kak? Kau menerima perjodohan itu?" Vino berbicara dengan nada yang rendah. Percuma saja jika mereka berbicara dan mengaitkan emosi di dalamnya, lagi pula ini juga rumah sakit. Sejak kejadian Vino yang memergoki Celin kemarin, Vino sudah melancarkan aksi diamnya kepada Vano yang tidak digubris Vano sedikitpun.

"Aku ingin menolaknya tapi sayangnya tidak bisa."

"Bagaimana dengan Celin?"

"Kau pasti mendengarkan percakapan kami kemarin kan? Jadi kau pasti tahu kalau dia sudah sangat jelas digunakan sebagai alat oleh paman dan bibinya."

"Ya, Celin tidak akan tertarik dengan uangmu sepeserpun." Vano diam diam menyetujui hal itu dalam hatinya. Celin bukanlah orang yang terlihat tertarik dengan harta atau uang.

"Kau menyukainya 'kan?" Vano baru benar benar menatap adiknya kali ini. Dan setelah pertanyaan itu mulus melancar dari mulut Vano , Vino sedikit terkejut dan merasa tidak nyaman di bawah tatapan kakaknya.

"Dia sahabatku jadi jelas kalau aku suka dengannya."

"Biar kuralat, kau mencintainya?"

"Kenapa kakak bisa seyakin itu?" Vino balik menatap manik hazel Vano. Tidak ada lagi kegugupan yang beberapa waktu lalu menyerang tubuhhya.

"Entahlah tapi Feeling-ku biasanya benar."

"Aku tidak ingin mendengar itu , kau tahu dulu kau selalu berkata seperti itu. Aku ingat, Feeling-mu bilang kalau kita tidak akan jatuh waktu nekat memanjat pohon apel, nyatanya aku yang jatuh karena kau tidak sengaja menjatuhkan buah apel tepat ke wajahku. Feeling-mu bilang kalau Mama dan Papa belum pulang dari luar negeri, karena itu kau mengajakku ke club walaupun aku masih dibawah umur, tapi saat pulang kerumah aku harus mendengarkan omelan mereka yang tidak bisa berhenti hanya dengan menunjukkan palang berwarna merah. Feeling-mu bilang kalau kita tidak akan tenggelam karena itu tidak perlu memakai pelampung , tapi selanjutnya kau menggulingkan kapal hanya karena ingin menangkap ikan yang berada di pinggiran kapal, akhirnya aku hampir tenggelam dan sesak nafas. Dan kau membuatku sampai sekarang takut untung berenang." Vino mendengus mencela saat menceritakan kejadian kejadian masa kecilnya dulu bersama kakaknya yang lebih tua 6 tahun itu.

Vano terkekeh mendengarnya. Dulu memang Vino selalu menjadi korban dari Feeling Vano yang menyesatkan, dan bodohnya Vino memilih untuk terus mempercayainya. Poor Vino.

"Hei tapi beberapa kali, Feeling- ku juga benar."

"Kemungkinannya hanya 1 : 10, yang artinya mustahil. Sekarang kau mengerti 'kan kakak kenapa adikmu ini dulu sangat menyedihkan karena dengan gampangnya kau bodohi dengan Feeling konyolmu itu. Silahkan tertawa, karena kau memang benar benar kakak yang kejam. Hatiku sakit jika mengingat itu." Vano tidak bisa menghentikan dirinya untuk tertawa saat mendengar perkataan adiknya disertai dengan ekspresi terluka yang dibuat buat. Apalagi saat tangan Vino memegang dadanya, menggeleng gelengkan dan mendongakkan kepalanya seperti orang sedih yang biasanya sering ditemui di drama sinetron.

"Jangan salahkan aku. Kau sendiri yang mau mau saja mengikuti perkataanku. Dan kau tahu, kau harus mengikuti teater setelah ini, aku suka ekspresi mu itu." Vino mendecih mendengar itu dan sedetik kemudian diriya mulai tertawa kecil.

Setelah tawa mereka sudah mereda, sudah tidak ada lagi kecanggungan yang dari tadi mengikat mereka. Tapi mereka berdua tahu bahwa masalah mereka tidak akan selesai jika tidak membicarakannya.

"Biarkanlah semua ini berjalan, apa yang terjadi nanti, biarkan saja terjadi. Kau hanya perlu berusaha mewujudkan apa yang kau inginkan, begitu juga aku. Disaat kita sudah mengetahui langkah apa yang kita ambil nanti, meskipun kita akan berselisih jalan, ingatlah kalau kita ini saudara dan dengan sendirinya waktu yang akan menjawab semua . Tak perlu ada kebencian, mungkin sedikit iri tidak apa, mengingat aku jauh lebih tampan darimu." Sebuah majalah melayang mengenai wajah Vano saat mengatakan itu, membuatnya menatap adiknya yang bersendekap dengan santai.

"Jangan hancurkan pidatomu dengan pujian yang memuakkan." Vano mengulas senyum miring, yang terpenting sekarang masalah diantara mereka sudah bisa dikatakan cukup membaik. Dia sangat menyayangi adiknya, begitupun Vino yang juga menyayangi Vano, mereka tidak ingin ada pertikaian, karena itu memilih untuk berjalan mengikuti alur. Apa yang terjadi nanti biarlah menjadi masalah nanti karena satu persatu lapisan akan terbuka sendirinya.

***

My Perfect CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang