"Jadi kau serius akan bertunangan dengan kakakku ya?"
"Ya begitulah." Celin menjawab sambil membereskan barang barangnya yang berserakan. Ini waktunya jam pulang kerja.
"Kau menerimanya? Secara aku melihat sendiri kau yang merengek dipelukanku saat mengetahui undangan pernikahan Davian." Celin mengernyit. Ini pertama kali Vino membahas mengenai pria brengsek itu setelah aksi penciuman yang tidak sopan diresepsi pernikahannya sendiri. Celin cukup lega karena Vino tidak pernah menyodorkan berbagai pertanyaan mengenai kejadian itu.
"Jangan sebut namanya, telingaku akan penuh bakteri jika mendengar namanya lagi." Vino mengulum senyum kemudian tangannya terangkat mengacak rambut Celin pelan. "Dasar," gumamnya.
"Jangan rusak tatanan rambutku," protes Celin yang tidak dihiraukan Vino.
"Hei bung, jauhkan tanganmu darinya." Celin mengangkat kepalanya dan melihat Vano yang berdiri tidak jauh darinya. Lelaki itu masih memakai jas dengan kancing yang tidak dikaitka, rambut tidak beraturan yang malah terlihat sexy, dan raut mukanya yang benar benar menatap Vino tidak suka saat berdekatan dengan Celin.
"Kenapa? Lagipula dia sahabatku. Jika kau bertanya mana yang lebih utama, sahabat atau kekasih pasti semua orang akan menjawab sahabat." Vino menyombongkan dirinya sambil memeluk leher Celin dan sengaja mendekatkan kepadanya.
"Benarkah? Kau akan memilih dia?" Vano menatap Celin dan wanita itu tidak tahu harus menjawab apa. "Sahabat memang orang yang telah lama mengenalmu tapi kekasih adalah orang yang akan menemanimu seumur hidupmu. Jadi dia pasti memilihku, lagipula pesonaku lebih tinggi darimu, terbuktikan waktu kita sekolah dulu ...." Vino langsung memotong ucapan Vano saat tahu bahwa kakaknya sedang ingin menceritakan salah satu dari sekian banyak kesialannya karena dilahirkan sebagai adiknya.
"Oh ... Please jangan diteruskan. Kau membuatku terlihat begitu buruk." Vano terkekeh dan berjalan mendekat ke arah Vino yang sudah melepas pelukannya dari leher Celin.
"Memangnya apa yang terjadi?" Celin dengan penuh ingin tahu menyuarakan isi pikirannya.
"Sebenarnya dulu ...."
"Intinya, mereka menjadikanku seperti tukang pos. Banyak anak perempuan yang mendekatiku hanya karena ingin aku menyampaikan surat tak penting berwarna merah dengan hiasan penuh bunga juga tanda love kepada dia. Oh itu sangat menjijikkan." Tunjuk Vino kepada kakaknya.
"Itu tandanya, aku lebih populer daripada kau. Sudahlah ayo pergi, Diane sudah mengamuk." Mereka memang berencana untuk makan malam bersama dengan Diane yang sudah keluar dari rumah sakit dua hari lalu. Dia selalu berkata bahwa ternyata rumah sakit benar benar tidak cocok dengan gayanya, hampir satu minggu dia terkurung disana dan untungnya masih mempunyai pikiran waras untuk tidak kabur seperti Vano.
"Masih ada 10 menit. Kenapa dia marah marah?" tanya Vino sambil melihat sekilas jam tangannya.
"Aku tidak tahu. Aku dengar katanya emosi ibu hamil bisa berubah ubah. Tiba tiba saja dia meneleponku dan memakiku karena berani beraninya membuat dia menunggu selama 5 menit. Astaga pasahal itu hanya 5 menit, salah dia sendiri datang terlalu awal dari jam perjanjian," gerutu Vano. Memang acara makan ini murni karena paksaan Diane. Wanita itu bilang menemukan restoran yang paling paling paling enak menurutnya. Garis bawahi disini , dia benar benar mengucapkan kata 'paling' sebanyak 3 kali .
Diane memberitahukan bahwa dia sudah mencicipi semua makanan restoran di daerah ini -pembalasan karena makanan rumah sakit katanya tidak enak- dan menetapkan entah restoran apa itu namanya menjadi favoritnya seumur hidup. Kadang Vano, Vino, dan Celin menggeleng geleng melihat kelakuan Diane.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect CEO
RomanceDihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya yang tidak bisa dicegah membuatnya merasakan semua hal yang dulu telah dirampas darinya dengan paksa. ...