Celin mengamati lagi penampilannya di depan kaca.
Gaun biru semata kaki yang dipadukan dengan high heels hitam membuatnya benar-benar percaya diri akan tampil di depan Davian.
Siapa lagi yang memilihkan gaun itu jika bukan Vino? Lelaki itu tahu persis ukuran dan model yang menjadi kesukaannya. Dengan gaun tanpa lengan yang menunjukkan bahu dan leher mulusnya. Terdapat sekat di pinggang yang disambung dengan kain berlapis lapis untuk bagian bawahnya. Sedangkan untuk sentuhan akhirnya, Celin memasangkan kalung, gelang, dan anting yang senada dengan sepatunya. Tak lupa juga rambut curly hasil selama satu jam dari salon menambah kesan elegan pada dirinya.
Dengan sekali polesan make up natural, bahkan Vino yang sudah berdiri di depannya bersiul dan menatap Celin dari atas sampai bawah.
"Bagaiaman?" Celin meminta pendapat Vino yang daritadi bertopang dagu mengamatinya.
"Perfect." Vino melihat jam tangannya sekilas. "Ayo berangkat."
Celin mengambil clutch bag yang sudah di siapkan dan mengikuti Vino yang sudah berjalan keluar menuju parkiran.
Tidak membutuhkan waktu lama, karena 15 menit kemudian mereka sudah berada di antara orang orang yang tak kalah mewah dengan dandanannya.
Pernikahan yang dihadirinya kali ini menganut orang barat, yaitu dengan konsep sang pengantin berbaur dengan tamu. Tidak ada pelaminan yang mengharuskan semua orang berjejer untuk memberikan selamat serta menyalaminya. Tapi siapapun itu pasti langsung bisa tahu siapa raja dan ratu dari acara ini melihat betapa mewahnya gaun yang dipakai oleh sang pasangan pengantin.
Celin masih mengamati dalam diam, matanya berfokus pada Davian yang sedang berinteraksi dengan laki laki paruh baya yang sepertinya rekan kerjanya. Sedangkan istrinya, dengan setia tetap berada di sampingnya sambil mengalungkan lengannya tepat di lengan Davian.
Pasangan serasi, mungkin.
Celin melihat tidak ada pancaran penyesalan di mata Davian, justru laki laki itu seperti menikmati semuanya. Sekarang Celin yang terkekeh dalam hatinya , bagaimana dia bisa dulu berpikir bahwa Davian memang mencintainya meskipun dia akan menikah. Dan untungnya meskipun Celin sakit hati tetapi dia tidak seperti wanita bodoh yang mau dengan gampang ditipu, dia lebih memilih menjauh dan tidak mengikuti kata kata munafik laki laki itu.
Davian mengangkat kepalanya, dan saat itulah pandangan mereka bertemu. Celin tersenyum miring saat melihat raut wajah Davian yang kaget.
"Aku akan mengambil minum." Vino yang sedari tadi tidak dihiraukankannya berbisik pelan dan pergi menjauh.
Sedangkan Celin hanya menoleh sebentar menanggapi Vino lalu mengalihkan lagi pandangannya kearah Davian yang kini sedang membisikkan sesuatu ke Kanya, istrinya. Kemudian Davian melepas pegangannya pada Kanya dan berjalan, tepat kearahnya. Kali ini Celin tetap diam, menunggunya.
"Hai, kau datang?"
"Terkejut? Aku tidak membutuhkan undanganmu untuk datang." Davian tergelak, bagaimana tidak? Dia tidak pernah merasa mengundang Celin, tapi dia melupakan fakta bahwa Vino yang salah satu rekan kerjanya adalah sahabat sekaligus bos dari Celin.
"Bisa kita bicara di balkon saja?"
"Dan apa? Membuat semua orang berfikir bahwa aku telah menculik pengantin pria di pernikahannya?" Celin tertawa sarkatis. Entah keberanian dari mana yang didapatkan wanita itu untuk terang terangan mengibarkan bendera perang pada lelaki di depannya.
"Ikut saja aku jika kau tidak ingin tersakiti." Celin cukup membeku saat mendengar nada Davian yang berbeda dari sebelumnya. Sekarang sorot mata lelaki itu menunjukkan bahwa Celin harus mau menuruti perintahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect CEO
RomanceDihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya yang tidak bisa dicegah membuatnya merasakan semua hal yang dulu telah dirampas darinya dengan paksa. ...