"Cancel semua jadwalku." Celin sedikit terganggu dengan suara yang terasa sangat dekat dengannya.
Matanya sedikit mengerjap, menyesuaikan dengan pencahayaan kamar yang terkena sinar mentari pagi dari balik jendela.
"Van?" Celin merasakan tangan lelaki itu yang melingkupi perutnya.
"Apa?" Vano semakin mengeratkan pelukannya dengan posisi tepat di belakang Celin. Sesekali hidungnya merapat ke leher dan rambut wanita itu untuk menghirup wangi khas lily dari sana.
"Jam berapa ini?" Celin menolehkan kepalanya ke belakang dan menemukan Vano dengan mata terpejam.
"Tidak tahu, tidak bisakah kita kembali tidur?" Celin mengembalikan posisi kepalanya ke arah semula. Posisinya benar bebar sangat dekat dengan Vano. Punggunnya yang ditutupi kain dari bajunya bersentuhan dengan dada telanjang Vano.
What? Telanjang? Seperti ingat sesuatu, Celin langsung terduduk yang membuat Vano reflek membuka matanya dan melepaskan pelukannya.
"Ada apa?"
"Bukankah semalam aku sudah bilang pakai bajumu." Celin melihat Vano menaikkan alisnya dan terkekeh. Mereka memang memutuskan untuk tidur bersama, hanya sekedar tidur dan berpelukan sepanjang malam. Tapi Celin memperingatkan Vano untuk tidak bertelanjang dada karena menurutnya yah ... umm ... itu sedikit memalukan untuknya saat tanpa permisi matanya malah terus melihat perut dengan pahatan sempurna itu.
"Aku lebih nyaman tidur seperti ini."
Celin mengalihkan wajahnya dan tidak sengaja menatap jam dinding hitam yang berada tidak jauh dari tempatnya. Sedikit mengernyit karena dia merasa ada suatu hal penting yang dilupakannya.
"Astaga, penerbanganku. 30 menit lagi." Celin menyingkap selimut dan berdiri tegak. Dia baru sadar bahwa sekarang dia berada di rumah Vano, lebih tepatnya mansion melihat betapa besarnya tempat yang dia tempati semalaman. Pasti membutuhkan waktu untuk kembali ke hotel dan membereskan barang barangnya.
Celin terpekik saat Vano melingkarkan tangannya ke pinggang wanita itu dan menariknya mendekat ke arahnya. Celin sedikit mengaduh saat dia dengan kasar jatuh keranjang tepat menghadap wajah Vano. Tangannya yang reflek berada di depan tubuhnya sekarang sudah berada pas di atas dada telanjang lelaki itu.
"Van? Apa yang kamu lakukan? Aku akan telat." Vano lebih merapatkan tubuhnya, memeluk Celin dengan sangat erat. Berdekatan dengan wanita itu seperti ini memang benar benar mengujinya, dia lelaki normal yang bisa terangsang hanya dengan menimbun kepalanya ke sela sela rambut Celin, tapi Vano tahu bahwa dia harus menahannya setidaknya sampai pernikahan mereka dilaksanakan.
Vano menaruh dagunya di puncak kepala Celin sambil sesekali mencium dahi wanita itu.
"Kenapa harus pergi? Batalkan saja."
Batalkan? Celin mendongak melihat Vano sambil memandang lelaki itu tidak percaya.
"Aku tidak punya tabungan lagi untuk membeli tiket pesawat." Vano terkekeh, membuat bahunya sedikit bergetar.
"Kita bisa memakai jet pribadiku." Betapa bodohnya Celin, dia baru ingat jika kekasihnya ini adalah orang yang sangat kaya. Jadi hal sepele seperti itu pasti bukan masalah besar untuknya.
"Oh baiklah, sekarang bisakah kamu melepaskanku? Aku ingin mandi." Vano menatap Celin dengan seringai jail. Lelaki itu menunduk dan membisikkan sesuatu tepat di telinga Celin.
"Mau aku bantu melepas pakaianmu?"
"Dasar mesum." Celin menatap jijik Vano yang malah disambut lelaki itu dengan tawa yang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect CEO
RomanceDihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya yang tidak bisa dicegah membuatnya merasakan semua hal yang dulu telah dirampas darinya dengan paksa. ...