Bab 22

382K 17.6K 211
                                    

Celin merasakan pening  di kepalanya sedikit mereda. Dengan mengernyit dia mencoba membuka matanya dan langsung disambut dengan kegelapan.

Dengan sedikit tertatih dia menegakkan punggungnya dan bersenden dengan tumpuan bantal di belakangnya, membuat kain di dahinya yang sudah mengering jatuh ke atas pangkuannya.

Dia baru sadar bahwa Vano-lah yang mengompres dan merawatnya saat dia sakit. Ingatan Celin memang sedikit kabur tetapi dia tau bahwa lelaki itu merawatnya dengan raut khawatir dan cemas.

Lalu dimana lelaki itu sekarang?

Tiba tiba pintu kamarnya terbuka, memunculkan sosok yang dari tadi dicarinya.
"Oh sudah bangun?" Vano berjalan cepat ke arahnya, meletakkan nampan penuh makanan ke nakas dan duduk di pinggir ranjang, di samping Celin.

"Sudah turun," gumam lelaki itu saat meletakkan telapak tangannya ke dahi Celin.

"Kamu makan dulu." Celin tidak mau membantah dan menuruti perkataan Vano. Lelaki itu juga sudah menyiapkan obat yang wajib diminumnya setelah makan.

"Jam berapa ini?"

"Jam 6 malam." Selama itukah dia tidur? Dan lelaki di sampingnya ini benar benar menungguinya?

Rasa senang menyebar ke dadanya. Membuat rasa pahit obat pun tidak berpengaruh besar pada wanita itu. Untung saja kamarnya remang remang, jadi Vano tidak akan melihat dirinya yang sedang bersemu merah membayangkan itu semua.

Celin sebenarnya sangat ingin memberitahu Vano mengenai perasaan cintanya yang sudah mulai tumbuh di hatinya dengan kecepatan di atas rata rata. Tapi entah kenapa dia masih belum yakin bahwa lelaki itu juga mempunyai perasaan yang sama dengannya. Memang mereka sudah menjalani hubungan yang bisa dibilang serius, tapi siapa tahu jika Vano hanya ingin beristirahat sejenak dari rutinitasnya bersama wanita wanita lain di luar sana. Siapa tahu jika Vano hanya sekedar ingin melaksankan perintah dari Mamanya untuk bertunang dengan Celin. Entahlah, semua pemikiran itu malah membuatnya semakin pusing.

Setelah semua makanan masuk dalam perut Celin, suara dering telpon berbunyi cukup pelan tapi masih bisa didengar Celin, ponsel Vano.

"Halo Diane?" Celin reflek menolehkan kepalanya dan mencoba menguping apapun yang bisa di tangkap indra pendengarnya.

....

"Pizza? Sekarang?" Celin melihat Vano mengerurkan dahi, membentuk lipatan lipatan yang cukup dalam. Celin sudah mulai menduga bahwa mungkin Diane ingin makan pizza sekarang dan menyuruh lelaki di sampingnya ini untuk membelikannya. Mungkin beberapa menit lagi dia akan ditinggalkan.

....

"Oke oke. Kau tunggu saja." Vano menyudahi panggilannya dan meletakkan ponselnya lagi ke saku celananya lalu menatap Celin.

"Dari Diane?" Vano hanya mengangguk sambil membereskan nampan dengan piring dan gelas yang sudah kosong.

"Kau akan pergi?" Entah dari mana keberanian yang Celin miliki untuk mengatakan itu semua. Dia sedikit gelisah saat melihat Vano beranjak dari duduknya.

"Pergi? Dan meninggalkanmu? Tidak, aku hanya akan mencuci ini," kata Vano sambil menunjuk nampan yang sudah berpindah di tangannya.

"Lalu Diane?"

Dengan tak acuh lelaki itu mengangkat bahunya. "Aku bisa menyuruh Vino atau suruhanku yang lain. Nah, sekarang kembalilah beristirahat dan tidur." Celin merasa bodoh saat tersenyum sepeninggalan Vano. Intinya dia merasa dipentingkan di sini walaupun karena alasan dia sakit. Oh betapa dia sangat berterimakasih pada sakit yang menimpanya kali ini.

Mungkin karena pengaruh obat atau memang dia yang masih merasa pusing, akhirnya Celin memutuskan untuk melanjutkan mimpi yang tadi terpotong. Dia mengatur posisinya dan memejamkan matanya.

My Perfect CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang