Bab 8

391K 18.7K 175
                                    

"Dimana Vino?" Martha menatap anak sulungnya yang terlihat tidak peduli atas ketidak hadiran Vino yang sudah telat setengah jam.

"Bukannya mama sudah bilang untuk memberitahu adikmu?" ulang Martha yang merasa pertanyaan awalnya tidak ditanggapi.

"Vano jawab mama." Vano menghela nafasnya dan menengadahkan kepalanya yang sedari tadi menunduk menatap layar tipis di tangannya.

"Aku sudah memberitahunya Ma, mungkin." Martha menatap Vano dengan curiga dan meminta penjelasan.

"Mungkin?"

"Aku memang memberitahu acaranya tapi mungkin tidak dengan alamatnya." Kali ini Martha menggeleng gelengkan kepalanya mendengar penuturan Vano. Wanita paruh baya itu melihat ke arah suaminya yang hanya menanggapi dengan hendikkan bahu seakan kelakuan anaknya itu bukan hal buruk.

"Oke ... dan Vano bisa simpan dulu ponselmu? Karena tamu kita sudah datang." Vano dengan segara menatap mamanya dengan heran. Tamu? Bukannya ini makan malam keluarga? Sekarang Vano tahu kenapa kursi yang disediakan melebihi jumlah keluarganya. Vano memasukkan ponselnya dan segera berdiri mengikuti Mama dan Papanya.

"Apa kami telat?"

"Tidak apa, kita juga akan mulai."

"Maaf, jalanan sangat macet."

"Kita tahu sendiri bagaimana keadaan lalu lintas ibu kota."

"Dimana anakmu yang lain?"

"Entahlah, mungkin akan menyusul."

Vano tidak bisa menanggapi percakapan Mamanya dengan wanita yang juga sepertinya seumuran. Fokusnya tertuju pada orang paling belakang yang berdiri dengan gugup, memakai gaun biru gelap selutut yang menunjukkan kaki jenjangnya. Rambutnya dikuncir kuda dan menyisakan beberapa helai halus yang membuatnya terlihat cantik.

Tapi tunggu, kenapa dia ada disini? batin Vano yang masih tidak mengerti situasi di sekitarnya.

Vano dengan sopan menyalami pasangan suami istri yang tidak dikenalnya dan hanya sebatas menatap wanita yang dari tadi diperhatikannya yang juga menatapnya dengan sedikit menunduk .

"Ayo duduk."

Vano tetap melihatnya, tepatnya manatap dengan tajam. Celin yang merasa diperhatikan sedikit risih sehingga dia terus manatap sekitar -yang sebenarnya tidak ada hal penting- hanya karena untuk menghindar dari tatapan Vano.

"Kita mulai saja ya, jadi Vano kamu pasti sudah kenal dengan Celin kan'? Sedangkan ini adalah Anca dan suaminya, Stev. Mereka adalah bibi dan paman yang sekaligus merupakan wali dari Celin."

"Dan?" Vano tahu Mamanya ingin mengungkapkan hal yang lebih penting daripada sekedar memperkenalkan dua orang di depannya yang tersenyum manis kepadanya.

Senyum palsu, Vano langsung bisa melihat itu. Senyuman yang hanya ditujukan jika seseorang yang ingin bersikap pura pura baik dibalik senyumannya. Senyuman yang menyiratkan sesuatu di dalamnya yang sayangnya sudah bisa dilihat oleh Vano.

"Mama ingin menjodohkan kamu dengan Celin."

"Apa?" Udara disekitarnya terasa terenggut, Celin yang mendengar itu semakin menunduk dengan tangannya berkali kali memeras ujung gaunnya dengan kasar.

"Iya, Mama sudah muak dengan pacar pacarmu yang sejujurnya tidak Mama suka, apalagi umur kamu yang sebentar lagi mendekati kepala tiga. Mama juga sudah tahu dengan beberapa kedekatan kalian dari beberapa hari yang lalu."

Ini yang tidak disukai dari Mamanya. Mamanya adalah wanita stalker yang menakutkan , dia bisa mengerti apa saja yang dilakukan Vano, bersama siapa dan dimana walaupun jarak mereka berdua sangat jauh. Mamanya bahkan dengan benar mengungkapkan kepribadian pacar pacarnya yang dari deretan model, artis atau penyanyi yang bahkan Vano tidak mengetahuinya. Entah Mamanya menyewa mata mata atau apa tapi Vano merasa kehidupan pribadinya direnggut dengan sifat mamanya yang terlalu khawatir kepadanya.

Mungkin karena kejadian 5 tahun yang lalu, batinnya.

"Apa perlu mama jelaskan saat Celin keluar dari apartemen kamu dan beberapa hari kemudian kalian terlihat di Night Club dan sedang..."

"Cukup Ma" Martha tersenyum menang, mengetahui pasti bahwa penuturannya memang benar yang terlihat dari wajah anaknya yang tampak tidak suka dengan rahasianya yang dibeberkan kepada orang lain yang juga berada semeja makan. Kekehan kecil keluar dari mulut wanita yang baru diketahuinya bernama Anca -yang tidak dihiraukan Vano-.

"Yah ... Mama tidak pernah melihat kamu mengundang ataupun mencium wanita sembarangan yang belum jelas status hubungannya denganmu, tapi ini ... merupakan hal pertama yang Mama lihat."

"Dia mabuk Ma." Vano heran kenapa Celin tidak membantu dan menyangkal apa yang dikatakan mamanya. Apa jangan jangan wanita itu dengan rela menerima perjodohan ini? Vano tidak bisa membiarkan itu .

Memang dihatinya mungkin ada sebersit ketertarikan kepada wanita itu tetapi dia tidak bisa. Sifat dan kepribadian Celin benar benar mirip dengan dia, dengan orang yang menghancurkannya berkeping keping. Dia tidak mau kejadian masa lalunya terulang lagi, cukup sekali dia merasa disakiti dan kini dia harus menjauhi hal hal yang berhubungan dengan masa lalunya yang bahkan membuatnya harus pergi ke psikolog.

"Lalu? Coba jalani dulu Vano. Celin adalah wanita yang baik, Mama sudah lama mengenal dia karena dia adalah teman dan juga rekan kerja Vino jadi mama tahu persis bagaimana sifatnya."

Satu hal lagi yang Vano baru sadari, bagaimana nantinya tanggapan Vino jika tahu tentang ini. Pasti Adiknya juga tidak setuju dan malah akan mencalonkan dirinya sendiri untuk dijodohkan dengan Celin melihat betapa perhatian dia jika berhubungan dengan wanita satu itu.

"Ma ... Mama tidak bisa begini. Biarkan Vano yang memilih siapa yang akan jadi pasangan Vano dan mama tinggal menunggu hasilnya saja."

"Tidak, mama sudah capek dengan kelakuanmu bersama wanita wanita tidak jelas itu. Begini saja, Mama memberikan waktu 5 hari untuk membawa pasanganmu kehadapan Mama. Tapi jika wanita yang kau bawa seperti mantan pacar pacarmu dengan tata krama yang sangat buruk seperti sebelumnya, Mama akan mengusirnya bahkan sebelum kakinya menyentuh rumah Mama. Dan jika dalam waktu itu kamu belum medapatkan pasangan maka mau tidak mau kamu harus menerima perjodohan ini."

"Aturan macam apa itu?" Vano berdiri dengan kasar membuat kursinya berdecit ke belakang dengan nyaring.

"Maaf semuanya, saya pamit ada urusan pekerjaan penting." Vano melangkah pergi, meninggalkan omong kosong mamanya yang benar benar tidak bisa dimengerti oleh akalnya.

"Vano, duduk!"

"Vano, Mama bilang duduk!"

"Vano ada urusan mendadak Ma, jika Mama mau aku untuk setuju dengan keputusan Mama yang sepihak, biarkan aku pergi. Setidaknya aku tidak akan menghancurkan dan mengobrak-abrik meja makan disini."

Vano mendengar helaan nafas pasrah Mamanya dan tetap berjalan pergi. Vano tahu mamanya sangat sayang padanya, tapi bukan begini caranya. Sebenarnya dia juga tidak ingin membantah ucapan wanita yang sangat disayanginya itu tapi dia masih ragu untuk menjalani hubungan yang serius. Masa lalunya masih terus menghantuinya, membayang bayangi setiap saat hingga terkadang membuatnya diam tak berkutik.

Nanti, jika sudah saatnya, jika dia sudah berdamai dengan masa lalunya , baru dia akan melangkah maju melihat masa depannya. Janji Vano dalam dirinya yang masih dia pegang sampai saat ini.

***

My Perfect CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang