Celin merasa tidak tenang saat harus berdiam di dalam mobil dengan aura gelap Vano yang menguar sejak mereka pergi dari acara pernikahan Davian.
Sebenarnya Celin sudah ingin berterimakasih tapi bungkamnya Vano membuat dia menunda niatnya apalagi dengan sifat Vano yang selalu menghadap ke luar jendela tanpa berniat menoleh kepadanya.
Celin menghembuskan nafasnya dengan kasar. Diane, yang kebetulan adalah sopir dari mobil yang ditumpanginya mendengarkan helaan nafas itu dan terkekeh.
"Jangan terlalu dipikirkan Cel, beri dia waktu untuk berfikir," katanya yang disambut dengan tatapan tajam Vano.
"Diam." Hanya satu kata itu tapi berimbas pada penghuni mobil yang tidak berani mengeluarkan suara lagi sampai mereka sampai tujuan.
"Turun," perintah Vano yang jelas ditolak oleh Celin. Lebih baik dia pulang saja sekarang daripada harus berada di tempat ini lagi, berdua dengan Vano.
"Turun atau aku gendong." Celin otomatis turun mendengar ancaman bernada serius itu, dia tidak mau hari ini menjadi bahan perhatian publik dua kali.
Diane terkikik geli. "Bagaimana bisa dia menggendongmu dengan tangan dan kaki seperti itu?" Celin menolehkan kepalanya ke arah Diane yang masih berada di kursi kemudi. Kenapa dirinya sebodoh itu? Benar kata Diane, Vano tidak bisa apa-apa kali ini dengan keadaan yang seperti itu.
"Jangan mengujiku." Sepertinya mood lelaki di depannya benar benar sudah buruk. Sedari tadi selalu berkata dengan datar dan tanpa ekspresi. Baru tadi pagi dia bertingkah seperti anak kecil saat di apartemennya, tapi sekarang lihatlah apa yang terjadi pada wajahnya.
Diane hanya terkekeh dan melambaikan tangannya. Meninggalkan Celin yang berdiri kikuk di depan Vano.
Vano melangkahkan kakinya menuju salah satu apartemen mahal yang jelas tidak akan bisa Celin pikirkan berapa biaya yang harus dikeluarkan hanya untuk tidur di tempat ini, dan dengan terpaksa Celin mengikuti lelaki itu dari belakang.
Sampai mereka sudah berada di dalam ruangan yang beraroma musk itu tidak ada yang membuka suara. Celin baru bisa melihat keseluruhan dekorasi apartemen Vano kali ini, mungkin karena dia dulu terlalu panik saat tiba tiba terbangun di salah satu kamar apartemen yang menjadi injakannya sekarang.
Vano dengan perlahan duduk di sofa dengan mencoba mengatur kaki dan tangannya senyaman mungkin, laki laki itu lalu berpaling ke arah Celin.
"Duduk." Dengan patuh Celin mengambil tempat di depan Vano yang dipisahkan oleh meja berkaca hitam.
"Bukan di situ tapi di sini." Tunjuk Vano ke arah sampingnya yang membuat Celin mengerutkan dahi, tidak terlalu lama, karena melihat ekspresi Vano yang tetap datar dan seperti menunggu reaksi Celin, wanita itu akhirnya menghela nafas pasrah dan berpindah.
"Bagaimana dia bisa menciummu seperti itu?" Lontar Vano langsung tanpa mengawali dengan embel embel pembukaan.
"Jangan salahkan aku. Dia yang memulai."
"Dan kau menerimanya?" Celin cukup tersinggung mendengar tuduhan tak beralasan itu. Bukannya Vano juga berkata kepada Kanya siapa yang memaksa dan siapa yang mencoba meronta, jadi pasti Celin berada dalam keadaan yang kedua.
"Aku mencoba mendorongnya tapi kau tahu sendiri kekuatanku tidak sebanding dengannya. Dan akhirnya aku hanya bisa diam saja."
Vano sepertinya masih belum bisa menerima alasan Celin terlihat dari dia yang mengalihkan wajahnya dan tidak mengatakan apapun.
Kenapa dia harus mempersalahkan itu? Tapi jangan pikir bahwa Celin juga menikmati ciuman itu, tidak, dia malah jijik melihat kelakuan Davian yang seperti ini. Apalagi dengan terang terangan tujuannya hanya ingin menjebak Celin. Tapi sekarang sebanding 'kan, pernikahannya tidak akan pernah terlupakan oleh siapapun yang melihat kejadian itu, miris sekali pengantin pria mencium wanita lain di pernikahannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect CEO
RomanceDihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya yang tidak bisa dicegah membuatnya merasakan semua hal yang dulu telah dirampas darinya dengan paksa. ...