Celin menggerakkan tangannya secara teratur di atas kepala Rupert yang sedang tertidur di pahanya, sesekali dia juga membenarkan tatanan rambut coklat anak itu yang berantakan.
"Dia tidur sangat pulas." Celin menolehkan kepalanya ke arah kiri dan langsung beradu pandang dengan Vano. Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. Mereka sudah berada di mobil menuju ke rumah Martha setelah melewati perjalanan lama di udara.
Suara ponsel berbunyi nyaring, membuat Rupert mengerutkan dahinya sambil bergerak mencari tempat ternyamannya.
"Halo."
....
"Oke."
Vano menutup telponnya dan segera menoleh lagi ke arah Celin yang menaikan alisnya mewakilkan kata Ada Apa?
"Nathan, temanku menelponku. Aku akan turun di depan. Kamu langsung saja ke rumah Mama, aku akan menyusul."
"Serius? Apa tidak bisa ditunda? Atau aku ikut saja menemui temanmu itu?"
Vano menggeleng menyiratkan permohonan maaf dari wajahnya, membuat Celin menghela nafas dan sedikit terpaksa menganggukkan kepalanya.
Setelah Vano memberitahukan sopir unruk berhenti, lelaki itu segera mencium dahi Celin dan mengacak acak rambut Rupert pelan. Kemudian Vano keluar mobil, berjalan menuju cafe yang tidak jauh dari tempatnya.
Mobil kembali berjalan, membuat Celin kehilangan pandangan saat mencoba menemukan Vano di sela sela padatnya bangunan tinggi di sepanjang kota metropolitan ini.
Tidak membutuhkan waktu lama karena akhirnya mobil sudah memasuki pelataran rumah keluarga Fernandes. Celin memindahkan kepala Rupert dengan pelan, kemudian beranjak keluar untuk mengambil koper mereka di bagasi.
Belum sampai Celin melangkahkan kaki ke arah bagasi, dia melihat pemadangan satu keluarga yang berdiri tidak jauh darinya dan sedang menatapnya dengan manik tajam.
Di depannya sudah berdiri angkuh paman, bibi dan Sally yang mengamati dirinya dari bawah sampai atas. Celin memang tidak menceritakan apa apa pada keluarga bibinya itu, bukan berarti tidak mau tapi dia hanya tidak mempunyai waktu. Setelah mengurus semua kebutuhan Vino di rumah sakit dulu dia langsung mengambil penerbangan pertama ke Jerman.
Tapi kenapa bibinya ini berada di rumah Vano? Tampaknya mereka juga baru sampai, melihat mobil yang masih belum beranjak di belakang mereka.
"Kau ...." Celin terlonjak saat Anca, bibinya itu menunjuk dirinya dengan menggeram dan ekspresi marah.
Dengan cepat wanita paruh baya itu mendatangi Celin dan langsung menarik kasar rambutnya. Celin mengaduh saat merasakan perih di kulit kepalanya, membuat Anca semakin menjambak dengan keras rambut keponakannya.
"Sakit Bi."
"Dasar anak tidak tahu diri, tidak tahu balas budi." Satu tamparan melayang ke pipi kiri Celin, membuat otomatis tangannya memegang pipinya yang dipastikan memerah karena menahan sakit.
"Dimana otakmu ha? Kabur begitu saja dari acara pertunanganmu. Kau mempermalukanku di depan rekan bisnisku." Lagi lagi tamparan mendarat di pipinya bersamaan dengan sumpah serapah yang Anca berikan kepadamya.
Celin melihat dari ujung matanya, bahwa pamannya dan Sally hanya memperhatikan dan tidak berniat melakukan apapun, bahkan Sally terang terangan tersenyum mengejek ke arahnya.
"Kau membuatku harus memutus hubungan besan dengan keluarga Fernandes." Celin meringis saat rambutnya tertarik ingin melepas dari tempatnya.
"Ada apa ini? Celin?" Martha keluar bersama suaminya, mungkin karena mereka mendengar suara Anca yang memekikkan telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect CEO
RomanceDihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Tetapi kemunculan sosok baru dihidupnya yang tidak bisa dicegah membuatnya merasakan semua hal yang dulu telah dirampas darinya dengan paksa. ...