Ch. 18

108K 4K 316
                                        

Setelah perkuliahan selesai, aku memutuskan untuk segera pulang, sementara Tessa sedang menikmati waktunya bersama Ashton. Sepanjang mata kuliah berlangsung tadi aku terus menyibukkan diri dengan beberapa hal, agar aku tidak terfokus pada Mr. Styles.

Mendaratkan bokong di sofa, tanganku bergerak untuk meraih remot tv dan menyalakannya. Aku mendesis pelan menyadari jika tontonan hari ini sangat membosankan.

Aku melempar remot ke sembarang arah, lalu merebahkan tubuh ke sofa. Hari yang melelahkan. Aku pun memutuskan untuk pergi ke dapur, mencari sesuatu yang mungkin dapat menyegarkan pikiranku.

Di dalam kulkas, aku menemukan satu botol kecil air mineral yang segelnya belum dibuka. Ini milik Tes, semalam dia pergi ke super market.

"Well, Tes, aku pinjam air mineralmu sebentar." Ucapku, yang kemudian meraih botol tersebut dan meneguk airnya.

Setelah itu, aku pergi ke kamar. Kepalaku sedikit berdenyut, seperti ada sesuatu yang terus menusuk. Aku berbaring dan menatap ke langit-langit kamar. Tak terasa, air mataku menetes, mengingat ucapan yang Mr. Styles katakan tadi, meskipun dia sudah berjanji untuk kembali, namun itu semua tidak cukup.

Bagaimana jika kami tidak ditakdirkan untuk bertemu lagi? Bagaimana jika dia menemukan gadis yang lebih baik disana?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berkecamuk di dalam pikiranku, membuat denyut di kepalaku terasa semakin nyeri. Dia bukan siapa-siapamu, Morgan. Aku terus meyakinkan diri jika Mr. Styles bukanlah satu-satunya pria di dunia ini, namun hatiku berkata lain.

Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, menangis karena seorang pria, bahkan tidak saat Jamie memutuskan hubungan kami hanya untuk janda yang usianya 15 tahun lebih tua dari dirinya.

Seketika ingatan tersebut membuatku ingin tertawa. Jamie terlalu bodoh dan polos.

.....

"Hai, Morgan." Sapa seseorang saat aku baru mendaratkan bokong di bench. Dia Luke.

"Hai, Luke." Aku membalasnya.

"Kau sendirian?" Ia bertanya.

"Menurutmu? Apakah kau melihat ada orang lain yang duduk disini selain aku?" Balasku sedikit kesal.

"Tidak,"

"Lalu kenapa kau bertanya?"

Dia tidak membalas, membuatku langsung saja pergi meninggalkannya. Mood-ku semakin hancur, yang aku butuhkan saat ini adalah kesendirian.

Aku berjalan menyusuri koridor kampus hingga aku menemukan tempat yang cocok, perpustakaan. Meskipun aku bukanlah seorang kutu buku, namun setidaknya dengan membaca beberapa buku atau majalah mampu meredam sedikit emosiku.

Aku duduk di dekat rak novel, namun masih belum mendapatkan buku yang aku inginkan, karena nyatanya aku terlalu malas untuk berdiri sekarang.

Suara decitan pintu membuatku mendongak. Kulihat sosok pria maskulin dengan blazer berwarna cokelatnya. Tatapannya menyisir setiap sudut ruangan di tempat ini, hingga pada akhirnya mata kami saling bertemu. Ia tersenyum sebentar, kemudian berjalan menghampiriku.

Aku kalang-kabut, merasa canggung dengan kehadirannya di tempat ini.

"Bisa aku bergabung denganmu?" Tanyanya.

Aku mengangguk pelan, namun belum mampu untuk menatap wajahnya. "Tentu, lagi pula kursi itu juga tidak terisi."

"Terima kasih," ucapnya seraya menarik kursi di depanku dan duduk disana. "Apa yang kau lakukan disini?"

The Scandal [h.s]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang