Sekar pov
Aku masih bingung dengan keputusan hatiku yang sangat mantap menerima Denis kembali. Oke, aku tak bisa pungkiri dengan presepsi orang yang selalu mengatakan jika aku ikhlas di jodohkan dengan lelaki bejat itu karena memilih membahagiakan kelurgaku, aku akui tidak salah karena itu juga menjadi salah satu-iya salah satu- alasannya. Tapi alasan yang lebih mendasar adalah hatiku yang begitu yakin.
Bekali-kali ku kutuk diriku karena begitu bodoh menerimanya. Lihatlah diriku yang kini duduk di depan cermin mematung. Mata bengkak, muka pucat, jilbab acak-acak kan.
Lelaki itu? Akkhhhh.....
Ku tarik kerudung yang sedari tadi menutupi kapala ku hingga dada.
Berkali-kali dia melukai ku, berkali-kali dia membuatku terpuruk. Mungkin benar kata dia dan orang-orang kalau aku memang sudah gila. Tapi itu tidak mungkin sebab keyakinan ini datang setelah beberapa kali istikharah.Aku tidak sebodoh itu mengikhlaskan diri ku kembali kepadanya. Cukup dengan luka-luka lama itu. Cukup! Tapi tidak dengan jawaban istikharah ku itu. Itu terlalu kuat. Mimpi yang menggambarakan aku dan denis menarik tali bersama-sama, melewati beberapa bukit batu yang berduri bersama-sama sambil tersenyum bahagia atau mimpi ke tiga saat dia memakaikan ku jilbab putih dengan raut wajah yang begitu tenang dan damai, Aku tidak mungkin membohongi mimpi itu. Akh andaikan itu terjadi di dunia nyata.
Aku memaksa kedua kaki ku untuk berdiri. Walau tergopoh-gopoh aku harus mencapai kasur ku, Pinggul ku terasa sakit terlalu lama duduk, iya sudah 5 jam duduk dan jika di hitung dari kejadian tadi siang aku sudah menangis sekitar 8 jam . sedari tadi aku duduk di situ menatap, menanyai, memaki, mengutuk diri. Oke, mungkin ini terlalu berlebihan tapi itulah kenyataan diri ku, hati ku terlalu sensitif jika menyangkut denis. Ini pun sudah lebih baik, dulu saat melihat denis berselingkuh dengan di- akh aku malas mengingat nama itu- aku menangis kurang lebih 16 jam.
Aku lagi tidak terkena kewajiban sholat alias lagi datang bulan jadi tubuhku langsung terespon nyaman ketika menyentuh kasur. Aku harus tidur menikmati masa single ku, tinggal 1 malam lagi setelah malam ini aku akan menjalani status baru sebagai seorang 'istri'.
Aku harus tidur melupakan kejadian tadi siang, melupakan sementara wajah lelaki itu, memberikan hak kepada pikiran untuk rehat.
Aku harus tidur
Ya harus tidur
****
∆ Min 1 hari menuju hari H ∆"Jadi maksud kedatangan nak denis kesini ini untuk apa?" tanya antusias lelaki paruh baya itu, rupa wajahnya begitu kegirangan.
"Jadi sebelum menjelaskan maksud kedatangan saya kesini , saya mohon maaf sebesar-besarnya ustadz. Mungkin kali ini kedatangan saya sedikit mengecewakan" denis menghentikan kalimatnya demi melihat wajah kaget yang muncul dari kedua orang yang ada di depannya ini.
"Maksud bang denis?" si lelaki dewasa bersua, memanggilnya dengan awalan "bang" membuat mereka terlihat begitu akrab.
"Iya fand, ustadz, seperti yang sering ustadz katakan jika manusia hanya merencanakan Allah yang menentukan, sekuat apapun kemauan dari seorang insan tapi jika Dia mengatakan tidak maka tidaklah segalanya" denis berhenti mengambil nafas lalu melanjutkan
"Pun begitu juga dengan saya yang jelas-jelas hanyalah manusia yang lemah dan fakir, rencana-rencana yang sudah saya susun dan saya tata dengan rapi harus mendapat perubahan dari Sang Pemilik kuasa" kesekian kalinya denis berhenti mengambil nafas, jantungnya bedegub kencang, bibirnya kalut tak mampu mengucapakan inti dari kedatangannya. kalimat-kalimat yang tersusun dengan rapi semenjak dari kantor, entah melayang kemana. Tak mampu dia mengangkat wajahnya, rasa bersalah untuk melanjutkan kalimat itu membuat wajahnya tunduk tak berdaya.
"Kenapa diam nak denis, silahkan di lanjutkan" pria itu bersua dengan nada sedikit memaksa tapi penuh kelembutan.
Denis kembali menata hatinya demi mendengar teguran halus itu. dia harus bisa bertanggung jawab atas perbuatannya. Denis mengakat wajahnya perlahan, menatap lurus penuh arti kepada lelaki paruh baya itu"Bismillah, jadi maksud kedatangan saya kesini, maaf. Saya ingin membatalkan rencana saya untuk menghitbah reina ardina putri ustadz, karena-- "
Braankkk
Semua kepala langsung menoleh demi mendengar bunyi belingan yang pecah itu. Di sana berdiri tak jauh dari kursi-kursi tamu seorang wanita berbalut jilbab panjang hingga ke lututnya, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. Dia menatap hanya ke satu arah, denis. Tatapan menuntut penjelasan.
"Astagfirullah nak, kamu kenapa?" lelaki paruh baya adalah abah reina itu mengelurkan suara
"Mbak?" affand lelaki dewasa itu memanggilnya dengan suara sedikit keras
"A a a ku tidak apa-apa, silahkan di lanjutkan. Sebentar di buat yang baru dulu" jawabnya gagab lalu berlau setelah meraih nampan yang jatuh dan memungut beling pecah. Denis menatap punggunya tanpa berkedib hingga menghilang. Ingin sekali denis berlari dan berlutut memohon maaf kepadanya. Wanita yang sangat di kaguminya. Selain dia cantik, dia sangat shalihah serta begitu menjaga kehormatan. Ini pertama kalinya reina membawa nampan minuman sejak tak terhitung kedatangan denis di rumah ini untuk belajar atau sekedar ngobrol dengan affand atau sesekali abahnya reina. Denis yakin reina di suruh untuk membawa minuman menggantikan umminya yang biasa bertugas, mereka sengaja agar denis bisa melihat reina dengan jelas untuk sekaligus memperkenalkan secara sah reina kepada denis sebab mereka kira dia datang untuk menghitbah. Pikiran-pikiran denis melayang membuatnya semakin meresa tidak enak hati kepada keluarga ini.
Setelah di tegur oleh abah karena menatap reina terlalu lama denis kembali menjelaskan tentang perubahan kondisinya itu. Di mulai dari kemauan orang tuanya hingga calon istrinya yang datang dari keluarga kolomerat tapi hanya segelintir yang dia sebut tentang sekar sebab dia tak mau lama-lama membahas tentangnya.
dia juga mendapat banyak wejangan pernikahan dari abah reina.Denis pamit pulang dengan memeluk affand dan abahnya ada raut kecewa yang sangat mendalam pada raut wajah abah dan anak ini, hati denis teriris melihatnya. Dia tau kalau abah reina sangat antusias terhadap rencananya dulu, dia bisa simpulkan dari sms reina tempo hari. Denis melirik ke dalam rumah. Kenapa dia tak keluar lagi, batinya.
"Dia mungkin sedikit shok, tapi nak denis tak usah khawatir purti saya itu tidak seperti wanita lain, dia sangat kuat. Percayalah" ucap abah membaca telak pikiran denis.
Denis lalu mengangguk, mengucapakan salam lalu melangkah menuju mobilnya.
Denis sudah dalam perjalanan pulang dia melirik jam tangannya, pukul 9:30 malam. Tadi setelah singgah sholat isya di sebuah mesjid bundanya menelfon jika dia harus tiba di rumah tidak boleh lewat dari jam 10, denis menjawab lemah menyetujui permintaan bundanya tapi malah di semprot dengan nasehat yang entah datang dari mana jika pamali calon pengantin keluar malam-malam padahal besok adalah hari pernikahannya. Denis meringis, bundanya terlalu percaya dengan takhayyul.
Lampu merah
Denis kembali tenggelam dalan lamunannya.
Apakah dia sudah siap menjalani hidupnya kedepan dengan seorang wanita yang begitu di bencinya?
Apakah hatinya ridho?
Bagaimana jika tidak?
Apa yang pertama dia lakukan jika statusnya sudah berubah?
Bagaimana dia memperlakukan istrinya nanti sedangkan yang menjadi pendamping hidupnya adalah orang yang ingin sekali dia lenyapakan dari sejarah hidupnya?
Apakah dia harus ikhlas?
'Tidak aku harus ikhlas, harus! harus ikhlas dalam menikah. Aku harus meluruskan niat menikah karena Allah agar hari-hari yang aku jalani nanti bisa mendapat berkah, walaupun dengan wanita yang entah bisa aku terima nanti atau tidak'. batinya berkecamuk
Denis terkaget seketika demi mendengar bunyi klakson motor dan mobil di belakan menuntutnya untuk segera menjalankan mobilnya.
"Baiklah aku harus siap dengan segala resiko, yang penting aku harus ikhlas"
"Bismillah, semoga hati ku bisa yakin" gumamnya
Lalu mobil itupun menghilang di antara kendaraan-kendaraan lain.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta
Spiritual"apa? Menikah?" "kamu sudah gila?" teriak Denis frustasi "kamu kira aku juga mau menikah dengan mu? Ha?" "lebih baik aku benar-benar gila" balas sekar membara # Menerima mu kembali adalah aib bagi ku. Tapi melepas mu, seperti melepas separuh jiwaku...