My ghost.
Where'd you go?
I can't find you in the body,
Sleppin' next to me.
I'm searching for something,
That i can't reach.SUDAH seminggu Calum tidak terlihat. Aku sangat merindukannya. Entahlah, aku hanya merasa sepi saat ia tak menemaniku. Tak ada lagi guyonan garing, sifat jahilnya, meminjam tugas atau catatanku dan masih banyak lagi. Aku juga menelpon Mali dan handphonenya tidak aktif. Aku sedikit kecewa dengan kehilangan Calum. Itu berarti aku tidak ada keistimewaan dimatanya. Buktinya, ia menghilang tanpa kabar. Bahkan, disaat seperti ini seketika semua memori yang kita lalui kembali terulang di pikiranku. Sekeras apapun otak ini menolak untuk tidak peduli akan keberadaan Calum, tetap saja hati ini seakan selalu ingin tahu dimana Calum? Apa yang dilakukan olehnya hari ini? Aku sungguh tak mengerti. Kehilangannya akan sesakit ini.
Aku juga tak akan menyangka jika Calum akan pergi dengan tiba-tiba. Aku belum ke rumahnya hari ini. Niatnya, aku akan mengunjungi rumahnya dan melihat kabarnya. Mungkin saja ia sedang menjahiliku. Pikiran bodohku mulai berfungsi. Menganggap semua ini hanya lelucon belaka. Otakku tak mampu untuk tidak berpikir negatif tentang Calum. Pertemuanku pertama kali seolah-olah terjadi lagi. Aku pertama kali melihatnya disini. Ditaman bermain. Saat itu ia sedang sedih, perasaannya sedih sekali. Tapi, ia bilang saat itu.
"Kau tahu apa? Semua orang akan menuju ajalnya masing-masing. Tapi, dengan cara yang berbeda. Mungkin ajalmu bisa saja mengidap kanker mematikan atau ganas terlebih lagi kanker langka. Aku pun tak tahu ajalku akan bagaimana terjadi, yang pasti ku tahu. Tuhan akan mengambilnya saat yang tak terduga." Ujar Calum.
Dia terlihat buruk dengan lingkaran hitam di bawah matanya, tubuhnya yang tidak terlalu gemuk tapi, tergolong kurus, lalu rambutnya yang tidak diurus. Ini semua buruk. Aku mencoba untuk menghiburnya dengan sebisaku.
"Ya, kau benar. Semua orang juga tak akan pernah tahu ajalnya. Tapi, mengapa harus memikirkan ajal kita? Aku percaya, jika kita berbuat baik nantinya siap atau tidak siap. Tuhan juga akan mengambil kita kembali pada-Nya." Ujarku yang membuat Calum menoleh melihat ke arahku. Kali ini aku melihat alis tebalnya yang menaik. Pertanda ia sedang mempertanyakan sesuatu atas pernyataanku.
"Maksudku, ajal memang pasti akan terjadi di semua manusia, kau tak tahu itu kapan. Dan itu sebuah misteri," Aku mengatakannya dengan hati-hati bermaksud agar dia terhibur dengan setiap perkataanku. Aku melihatnya memandangi ayunan yang terletak di seberang dari tempat duduk kami. Tapi, tatapan itu menggambarkan kekosongan yang dimiliki oleh seorang bocah berumur 10 tahun.
Lalu ia tiba-tiba berkata dengan tatapan kekosongan yang melandanya.
"Kalau begitu, cabutlah nyawaku. Aku ikhlas. Aku merasa bersalah jika hanya adikku yang meninggal, sedangkan aku disini menghirup udara bebas," ujar Calum.
"Bukan begitu, maksudku, ajal manusia akan datang sewaktu-waktu. Aku yakin adikmu pasti menyayangimu. Ia ingin kau terlihat kuat menghadapi cobaan. Buatlah ia tersenyum dengan tetap menjadi kuat untuknya,"
"Kau tidak tahu apa-apa," lalu ia pergi meninggalkanku yang sendiri disini. Aku tidak tahu kemana ia perginya.
Sudah sekitar 1 jam aku menghabiskan waktuku di taman ini. Aku bukan berharap ia kembali untukku, aku hanya ingin melepaskan penatku sejenak. Melepaskan kegelisahan yang melandaku. Tak lama rintik hujan pun mulai terasa di sekujur tubuhku. Semakin lama rintik itu semakin deras menjadi hujan. Tempat berteduh dari sini cukup jauh, jadi lah baju ku kebasahan. Aku terus menerjang air, dan tak ku kira sebuah payung kecil diatas kepalaku. Aku mulai mendongakkan kepalaku, terlihat Calum yang sedang memayungiku.
"Terima kasih," kataku.
"Kembali,"
Aku dan Calum sudah mendapat tempat teduh, hujan juga masih turun dengan derasnya. Aku menggosokkan tanganku untuk mencari kehangatan. Begitu juga dengan Calum. Kami berdua masih terjebak disini.
"Hey," kata Calum.
"Ya? Kenapa?"
"Aku Calum Hood." Ia mengulurkan tangannya pertanda perkenalan.
"Aku Darcy. Darcy Collins." Aku membalas jabatan tangannya. Dan kami berdua tersenyum.
"Jadi, aku boleh berteman 'kan sekarang denganmu?" Ujar Calum yang disambut dengan senyuman menawannya saat itu. Aku masih teringat akan memori itu.
"Tentu, kau dan aku berteman."
"Kau mau janji untukku?" Calum mengatakannya dengan nada ragu.
"Apa?"
"Jangan pergi, apapun yang terjadi. Kau,aku akan selalu bersama? Boleh 'kan?" Ia mengangkat jari kelingking nya itu.
"Baiklah, aku akan tetap bersamamu walau keadaan apapun itu." Aku juga mengangkat jari kelingkingku dan mengaitkannya dengan jari kelingking Calum.
Disanalah janji itu terbuat. Atas saling mengaitkan jari kelingking masing-masing"
Tak terasa air mataku keluar dan membasahi pipiku. Aku termenung dan menangis. Sedih, betapa tidak berartinya janji itu baginya.
Dan yang terburuk adalah aku mempercayai janji itu.
A/N :
Yeay! 1K readers. 🎉🎉🎊
Gue ga nyangka padahal ini ff gaje.
THANKS BANGET GUYS.
VOTE ⭐️
COMMENTS 💁💭
YOU ARE READING
WE (c.h)
FanfictionKetika Darcy Collins memendam rasa kepada seorang Calum Hood yang periang namun, tertutup dalam sesuatu hal yang tidak diketahui Darcy. Semakin lama rasa yang terpendam itu semakin bertumbuh, selama itu juga Calum semakin menjauh. Apa penyebabnya? B...