Bab 6

3.6K 202 4
                                    

Sebulan lebih sudah berlalu sejak Ari tahu nama panjang Tari. Sejak saat itu juga Tari sadar kalau Ari sengaja menghindarinya. "Errrrrgggghhhh...." Tari mengerang frustasi sambil membenamkan wajahnya ke atas tas. "Gimana bisa deket kalo ucapan selamat pagi aja nggak pernah di bales!" pikirnya kesal.

Vero yang sedari tadi duduk di sebelahnya kontan menatap Tari dengan kedua alis yang saling bertaut.

Biar saja. Tari tidak peduli. Pikirannya kini terhenti di pada sosok. Walaupun benar Ari juga tidak membalas salam dari yang lainnya, Tari tahu, sikap cueknya pada Tari berbeda dengan sikap cuek yang dia tunjukkan pada teman-teman yang lain.

Kepada yang lain, Ari masih menjawab kalau ditanya. Masih bereaksi kalau di sapa. Tapi pada Tari, dia mendadak buta juga tuli.

Bukan tanpa dasar. Dugaan itu seolah mendapat pengukuhan saat Tari mendapat tugas dari wali kelas mereka. Saat itu, Tari ditugaskan untuk mengisi buku data siswa di kelasnya. Teknisnya, Tari harus menanyakan alamat serta nomor telepon teman sekelasnya satu-persatu. Karena Tari anak baru, dialah mendapat tugas ini dengan harapan bisa semakin akrab dengan teman-teman sekelas lainnya.

Tari sendiri sebetulnya sama sekali tidak keberatan. Bagaimanapun dia bisa memahami maksud baik Bu Dian. Yang membuatnya sedih adalah saat giliran itu sampai pada Ari. Tanpa Tari ketahui, Ari sudah menuliskan semua informasi yang Tari perlukan di atas secarik kertas. Setelah memberikan kertas itu pada Tari, Ari malah langsung pergi begitu saja. Dalam diam, dibiarkannya Tari menelan pahit karena merasa ditolak dan diacuhkan.

Alhasil, Tari yang belakangan kelihatan lesu mulai jadi perbincangan di antara beberapa guru. Nilainya yang cenderung menurun tak ayal membuat guru-guru itu mulai mengemukakan beberapa kemungkinan. Mulai dari yang rasional, sampai yang irasional.

Namun demikian, dari semua asumsi yang coba diungkapkan oleh para guru tadi, Verolah yang nyatanya mampu mengemukakan asumsi paling tepat. Sebagai orang yang paling dekat dengan Tari, Vero yakin kalau perubahan Tari pasti ada hubungannya dengan Ari. Yah, walaupun Tari tidak pernah mengatakannya secara blak-blakan pada Vero, Vero cukup yakin dugaanya benar.

"Lo kenapa sih Tar?" tanya Vero beberapa hari yang lalu.

"Kenapa apanya?"

"Ck! Lo bisa ngebohongin siapa aja, kecuali gue. Akhir-akhir ini muka lo kusut banget! Ada apa sih?"

Tari tidak serta-merta menjawab. Ditatapnya Vero lurus-lurus. Jujur, ingin rasanya dia berbagi. Setelah lebih dari satu bulan dia telan semuanya sendiri, Tari mulai frustasi. Mungkin dengan membuka segalanya pada Vero, dia jadi punya sekutu. Sekutu untuk mengatur rencana juga sekutu untuk memberikannya saran yang mungkin berguna. Tapi di sisi lain, ada rasa malu juga hadir di sana. Malu kalau kejujuran itu justru membuat Vero mentertawakannya.

"Ari kan?" tembak Vero tepat, membuat Tari gelagapan seketika.

"Tuh kan dugaan gue bener," sambung Vero dengan nada puas dalam suaranya. "Lo patah hati sama Ari?"

"Hhhhhh....." Tari menghela napas dalam-dalam. Menyerah. "Lo suka baca novel nggak, Ver?" tanya Tari di luar dugaan.

"Hah? Novel? Apa hubungannya?" tanya Vero dengan dahi berkerut.

"Segalanya," jawab cewek itu dengan kesungguhan di atas rata-rata.

Melihat kesungguhan dalam pancaran mata Tari, Vero menjawabnya dengan anggukan kepala. "Yah, lumayan sih. Bukan tipe yang freak gitu, tapi ya lumayan lah," jawab Vero ragu karena bagaimanapun dia masih belum bisa menemukan korelasi antara Ari, Tari, dan novel.

"Nanti gue pinjemin novel yang bakal bikin elo ngerti maksud gue," jawab Tari kemudian. Sebuah jawab yang justru menghasilkan tanda tanya baru bagi Vero.

Sehari setelah Tari meminjami Vero novel saktinya, Vero langsung mengampiri Tari. "Ini serius?" tanya Vero dengan mulut menganga. Diluar dugaan, Vero tidak menertawainya. Sebelas-duabelas dengan Tari, Vero juga merasa kalau ini merupakan sebuah kebetulan yang begitu luar biasa, cenderung di luar nalar. "Kok bisa persis banget sih, Tar?" tanya Vero tidak habis pikir. Setelah selesai membaca novel itu, Vero mendadak paham kenapa Tari begitu terobsesi pada sosok Ari – tak peduli betapa pun Ari cuek terhadapnya, juga tak peduli berapa kali pun Vero memperingatinya untuk tidak menumbuhkan harapan atas cowok itu.

"Dinginnya sama, cueknya sama, gantengnya sama, tajirnya sama, tukang bolos sama, tukang telatnya sama, bahkan motornya itemnya juga sama!"

"Tuh kan! Bukan gue sendiri kan yang mikir kalo Senja Matahari kita itu mirip banget sama si Matahari Senja?" jerit Tari histeris.

"Yah walaupun emang ada juga sih bedanya. Pertama, Ari nggak kembar. Kedua, dia bukan tukang tawuran. Ari jelas bukan model cowok yang suka bikin kelas hingar-bingar dan orangtuanya juga nggak cerai."

"Iya sih." Tari membenarkan sambil menghela napas lega pada perbedaan terakhir yang disebutkan Vero.

"Oh satu lagi yang krusial!"

"Apaan?"

"Beda sama Matahari Senja, Ari kita malah ngejauhin elo gara-gara nama kalian yang sama-sama matahari!"

Tari cuma menggendikkan kedua bahunya. Setengah sedih karena sang Senja Matahari memang berbanding terbalik dengan Matahari Senja yang seharusnya mengejar dia. Tapi biarlah, paling tidak Tari bisa sedikit bernapas lega karena Vero tidak menganggap dia gila!

"Gue harus gimana dong, Ver?" tanya Tari putus asa.

Vero tidak langsung menjawab. Diamatinya sosok Ari yang sekarang tenggelam dalam keseriusan dengan PSP-nya. Jujur, Ari yang cuma setingkat di atas patung dari segi keterdiaman, memang bukan pertanda baik. Berusaha mencari info dari orang lain juga sama sulitnya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. "Siapa juga yang mau ditanya? Temen aja dia nggak punya," pikir Vero dengan kening berkerut rapat.

Keduanya sadar, satu-satunya narasumber terpercaya memang hanya Ari sendiri. Tapi, berlagak jadi wartawan di depan Ari juga sama mustahilnya dengan berjalan melewati Gurun Sahara tanpa air. Sedangkan melakukan aksi yang lebih frontal, seperti Fio maksudnya, itu sama saja dengan menjerumuskan diri sendiri ke dalam sumur. Jangan bodoh, masa iya teknik yang sudah jelas-jelas gagal mau ditiru juga?

"Gue nggak tahu," Vero menjawab pasrah. Sama seperti Tari, cewek itu juga gagal mencari celah yang mungkin mereka lewati untuk, sedikit saja, lebih mengenal Ari.

***

Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang