BAB 26

3.2K 192 27
                                    

Sepanjang hari itu, Ari benar-benar keliahatan aneh. Gelisah, gugup, tapi juga seakan tak sabar menanti sesuatu. Hampir setiap setengah jam sekali, cowok itu melirik jam tanganya. Menunggu sesuatu yang hingga saat ini, masih jadi tanda tanya buat Tari.

Tari sendiri tidak tahu apa ini saat yang tepat untuk memaksa Ari bercerita atau tidak. Karena tadi, ketika dirinya bertanya untuk apa mereka di sini sekarang, cowok itu cuma menggenggam kedua tangannya sambil berkata, "Temenin gue, Tar. Please..." Cuma itu. Cuma satu kalimat pendek yang diutarakan dengan penuh permohonan.

"Hhhhh...." Tari menghela napas dalam-dalam untuk kali kesekian. Sekarang, saat berjam-jam sudah berlalu tanpa kata di antara keduanya, Tari kembali bertanya pada Ari yang masih terpaku menatap laut lepas di hadapan mereka. Menatap cahaya jingga yang mulai muncul walaupun kuning memang masih lebih dominan.

"Ari..." panggilnya perlahan.

Ari yang saat ini duduk persis di sebelah Tari segera melirik cewek itu dengan tatapan bertanya.

"Lo bawa gue sejauh ini, sampe keluar Jakarta begini, apa gue masih nggak cukup pantes buat denger alasan elo bawa gue ke sini?"

Ari mengerjap. Ditatapnya Tari lekat-lekat. Sadar, kalau dia sudah membawa cewek ini masuk begitu jauh ke dalam hidupnya. Cewek yang dibawanya dengan sepenuh kesadaran. Cewek yang memang dia harapkan berada di sampingnya untuk menyaksikan 'pertunjukan' yang sebentar lagi akan mereka saksikan bersama. Cewek yang sengaja dibawanya bukan hanya sekadar agar dia tidak sendiri, tapi juga karena Ari mau Tari jadi yang pertama tahu kalau akhirnya dia bahagia.

Itu kalau kisah ini berakhir happy ending seperti harapannya. Kalaupun kisah ini tidak berakhir dengan indah seperti mimpinya, Ari juga mau agar Tari jadi orang yang menjaganya untuk tetap bisa berpikir secara normal. Normal yang tidak tersulut emosi, normal yang tidak jatuh ke dalam lubang dan akhirnya tenggelam di dasarnya.

Suara itu baru setengah jalan memenuhi kerongkongan Ari saat dia mendengar suara-suara dari villa yang berada tepat di sebelah mereka. Dengan cepat, Ari segera menyapu halaman belakang villa tersebut dengan kedua matanya. Halaman yang terlihat jelas dari tempatnya dan Tari berdiam saat ini.

Perlahan, seorang laki-laki paruh baya berjalan menuju halaman belakang villa itu, lalu duduk di salah satu bangku kayu panjang yang terdapat di sana. Dalam diam, dia mulai menatap laut yang kini berwarna emas, saat air membiaskan cahaya senja.

Mulut Tari sendiri sontak menganga lebar saat dirinya berhasil mengenali sosok itu. "Ari... itu..." ujar Tari dengan suara tercekat.

"Papa," jawab Ari menyelesaikan kalimat Tari yang tidak selesai.

Belum sempat Tari menguasai dirinya dari keterkejutan, ponsel Ari tiba-tiba bergetar. Nama papanya muncul di layar tersebut.

"Kok nggak diangkat?" tanya Tari dengan suara berbisik.

"Karena emang bukan gue yang bakal dia temuin hari ini."

Benar saja, dengan ponsel yang masih tertempel di telinganya, seorang wanita cantik sudah berdiri di ambang pintu tersebut.

"Kamu?" ujar kedua orang itu bersamaan. Tari sendiri langsung mengamati Ari dan ponselnya. Kini Tari mengerti, kedua orangtua Ari pasti tidak menyangka bahwa mereka akan saling bertemu di sini. Hari ini.

"Ari?" bisik Tari.

Ari mengangguk. "Gue yang ngatur semua ini. Sekarang, semuanya ada di tangan mereka," jawab Ari sambil menatap kedua sosok yang berada di bawah sana.

Tari mengangguk lalu menatap Ari penuh arti. "Gue ngerti," jawabnya singkat sambil ikut memperhatikan kedua orangtua Ari yang kini mulai saling bicara.

Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang