"Apa sih maksud lo, Ri?" tanya Tari pada bantal berbentuk matahari di hadapannya. Bantal yang sudah dianggapnya sebagai Ari karena bentuknya yang memang matahari. Bantal yang sudah mendapatkan berbagai perlakuan sejak didaulatnya menjadi representasi sosok Ari. Mulai dari dipeluk saat mengingat semua perlakuan manis cowok itu, tapi juga dipukul-pukul kala kesal meyerangnya seperti saat ini.
"Dasar ngeselin!" maki Tari sambil melayangkan satu pukulan ringan pada bantal tadi, menyalurkan emosi yang jelas, tidak bisa dia salurkan pada objeknya secara langsung.
"Elo kenapa sebenernya?" tanya Tari sambil merebahkan tubuhnya ke kasur. Diangkatnya bantal matahari itu tinggi-tinggi.
"Kenapa elo harus susah banget ditebak sih, Ri?" tanya Tari gemas. "Kadang baik, kadang galak, kadang nggak jelas," gumamnya sambil mengingat semua hal yang pernah terjadi di antara mereka.
"Hhhhh..." Tari menghela napas dalam-dalam. "Lo salah kalo lo pikir gue bakal enyah. Lo tahu kenapa?" tanya Tari pada bantalnya yang tetap membisu.
"Karena elo, takdir gue."
Ya.
Takdir.
Satu kata yang kembali membangkitkan semangat cewek itu dari keputusasaan yang hampir merambati. Takdir. Satu kata yang juga membuatnya punya rencana gila untuk esok pagi.
***
Pagi ini, Tari sudah bersiap dengan rencana paling gila yang bisa dipikirkan oleh otaknya.
"Ari!" panggil Tari saat akhirnya dia melihat sosok itu. Pagi ini, Tari menghadang Ari di depan koridor utama. Tempat paling sibuk tiap pagi maupun saat bel pulang terdengar.
Kini, saat bel masuk tinggal terpaut beberapa menit lagi, koridor itu bisa dipastikan sama penuhnya dengan pasar. "Maksa elo tuh mungkin emang harus begini caranya."
Tepat! Malas menjadi pusat perhatian dalam keadaan ramai seperti sekarang, Ari bermaksud mengubah haluan langkahnya. Tari yang sudah bisa memprediksi hal itu segera berlari mendekati. Dengan cepat, ditahannya langkah Ari. "Drama, drama deh! Bodo amat!" pikir Tari dalam hati.
"Ada apa?" tanya Ari dengan suara memperingati. Peringatan bahwa dia jelas tidak suka pada cara Tari.
"Kalo emang nggak ada apa-apa, gue nggak bakal nunggu elo di sini," balas Tari tak kalah galak.
Mata Ari memicing. Ditatapnya Tari lekat-lekat. "Lo mau apa?"
"Penjelasan."
Ari yang sadar bahwa orang-orang mulai memperhatikan mereka, tanpa diduga, langsung menarik satu tangan Tari. Dengan langkah cepat, dibawanya cewek itu menuju tempat parkir. Berbeda dengan hari-hari biasanya, hari ini Ari berangkat ke sekolah dengan Everestnya. Ari memang melakukannya bukan tanpa tujuan. Dia hanya tidak menyangka bahwa hal itu harus dilakukannya lebih cepat dari yang dia perkirakan dan juga melibatkan orang lain.
"Lo mau ngajak gue cabut?" tanya Tari saat Ari membukakan pintu mobilnya untuk cewek itu.
"Lebih tepatnya, elo yang maksa gue buat ngajak lo cabut," ralat Ari.
Tari sudah hampir membalas kata-kata itu saat disadarinya bahwa statement Ari tidak sepenuhnya salah.
***
Perjalanan itu menjadi perjalanan paling hening yang pernah Tari alami seumur hidupnya. Sejak memutuskan untuk masuk ke dalam Everest hitam ini, Tari dan Ari tidak saling bicara. Tidak satu patah kata pun. Hingga kini mobil itu mulai melaju meninggalkan Jakarta, keheningan di dalamnya masih terjaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)
FanfictionFanfiction dari novel bestseller Jingga dan Senja Series by Esti Kinasih. Tentang seorang cewek yang penuh dengan nuansa matahari dan seorang cowok yang justru menyimpan luka di balik semarak jingga. Read the story and I bet you won't regret to know...