"Ari, tolong bantu Ibu bawa buku-buku ini ke kantor guru ya?" pinta Bu Dian di akhir pelajarannya siang itu.
Ari mengangguk patuh, memasukkan bukunya ke dalam tas, lalu berjalan menghampiri Bu Dian di meja guru.
"Terima kasih ya, Ri. Tolong taruh semua buku ini di atas meja Ibu ya. Kamu tahu meja Ibu kan?" tanya Bu Dian memastikan.
Ari mengangguk hormat. Sebuah kejadian langka yang membuat Tari terkesima.
"Ari kok nurut sih?" tanya Tari pada Vero sambil memasukkan bukunya sendiri ke dalam tas.
"Ari tuh emang nurut kali."
"Serius lo?! Tukang bolos begitu nurut?"
"Ari emang tukang telat. Tukang bolos. Tapi jangan salah, dia itu sopan dan nurut banget sama guru-guru. Beda sama Matahari Senja yang ada di dalem novel lo itu!"
"Masa sih? Tapi, bukannya itu jadi keliatan aneh ya? Maksud gue, nggak sinkron aja gitu. Baru kali ini gue liat tukang bolos yang nurut. Nanggung banget sih tuh cowok, mau jadi anak baik apa mau jadi anak nakal coba?" tanya Tari sambil memperhatikan cowok yang sekarang mulai mengangkat buku tugas teman-teman sekelas..
"Tau deh, udah ribuan kali kan gue bilang? Tu anak emang aneh. Gue juga nggak ngerti."
Tari menggaruk pelipisnya. Setiap fakta baru yang diketahuinya tentang cowok itu benar-benar hanya membawanya pada sebuah tanda tanya baru.
"Kantin yuk! Laper," ajak Vero sambil berdiri dari bangkunya.
Tari sendiri sengaja berlama-lama guna menunggu Ari keluar lebih dulu daripada mereka. Tujuannya cuma satu – karena dia bisa menatap Ari dengan leluasa dari tempatnya berada.
"Ngeliatinnya biasa aja kali. Sampe ngeces tuh!" bisik Vero sambil mengelap sudut bibir Tari dengan ujung dasi yang menjuntai di depan dadanya.
"Sialan lo! Siapa juga yang ngeces," balas Tari sambil meringis geli.
Kelewat serius memperhatikan karya Tuhan yang sempurna itu membuat keduanya tidak sadar akan bahaya yang sedang menanti. Tanpa mereka sangka, dua murid laki-laki dengan kecepatan setara banteng mengamuk sedang saling berkejaran karena entah apa.
Whuuuussss..... 'banteng' pertama berlalu seperti angin.
Bruuukk!!! Lengan Tari mendadak diterjang oleh 'banteng' yang berada dalam posisi mengejar, membuat sang 'banteng' limbung dan sontak menerjang Ari yang cuma berjarak sekitar tiga meter di depan Tari dan Vero. Tak terelakkan, buku-buku yang diterjangnya kini ikut jatuh berantakan. Tersebar bebas memenuhi koridor kelas XII.
Sang 'banteng' yang sadar kalau dia sudah melakukan kekacauan, sekarang berdiri sambil melirik ke kedua arah. Arah pertama adalah arah di mana kawannya merentang jarak yang semakin jauh atas kecelakaan tadi, dan arah kedua adalah buku-buku yang dia sadar betul, jadi berserakan seperti itu karena ulahnya.
Bingung, cowok itu mulai melirik ke kedua arah tersebut secara bergantian. Tapi sedetik kemudian, kelihatannya dia sudah berhasil memilih mana yang lebih urgent menurut level urgensinya sendiri. "Sorry, nanti gue balik lagi," ucapnya singkat lalu kembali mengejar temannya yang sudah berlari menuruni tangga.
Tari yang melihat kepergian si pembuat onar refleks mendekati Ari untuk membantunya. "Namanya juga banteng, wajar aja kalo nggak ngerti tanggung jawab," cela Tari sambil bersimpuh di sebelah Ari, membantu cowok itu membereskan buku yang berantakan.
Ari yang sadar ada sosok lain di sisinya, segera melirik cewek itu. Dengan ekspresi wajah yang terlihat jelas tidak peduli, Ari kembali mengumpulkan buku-buku yang jatuh tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)
FanficFanfiction dari novel bestseller Jingga dan Senja Series by Esti Kinasih. Tentang seorang cewek yang penuh dengan nuansa matahari dan seorang cowok yang justru menyimpan luka di balik semarak jingga. Read the story and I bet you won't regret to know...