BAB 8

3.2K 183 4
                                    

Saat dilihatnya bubur ayam dengan aroma yang begitu menggoda, Tari langsung sadar kalau dia memang lapar. Saking seriusnya memikirkan Ari, cewek itu bahkan baru ingat kalau terakhir kalinya dia makan adalah jam 7 tadi pagi.

"Pantes gue laper banget," pikir Tari sambil memandangi awan yang perlahan menghitam.

"Ari, ini enak banget loh! Elo nggak mau sekalian makan?" tanya Tari berusaha mencairkan kebisuan level akut yang tercipta di antara keduanya. Memang benar, Tari masih kesal kalau teringat pada peristiwa buku jatuh kemarin lusa. Tapi pertolongan Ari hari ini, walaupun Tari tidak tahu Ari menolongnya dengan ikhlas atau tidak, sudah membuat cewek itu memaafkannya.

Ari cuma menjawab Tari dengan gelengan kepala, membuat Tari mendengus putus asa lalu memilih untuk kembali fokus pada mangkuk di hadapannya. Kali ini, ingatannya lalu melayang jauh pada pertanyaan Vero saat dulu dia masih berstatus sebagai anak baru di sekolahnya. "Gimana rasanya ngomong kalo nggak ditanggepin?" Nah! Sekarang Tari tahu persis bagaimana rasanya. Sakit hati!

Sepuluh menit kembali berlalu dalam keheningan total. Sepuluh menit canggung yang menemani cewek itu melahap habis buburnya. Saat mangkuk itu akhirnya kosong, Ari segera berdiri.

"Mas, satu mangkok lagi ya," ujar Tari pada sang penjual.

Ari yang sudah berdiri kontan menatap Tari penuh tanya.

"Sorry, Ri. Gue masih laper," jawab Tari sambil meringis salah tingkah. "Kalo lo buru-buru, duluan aja nggak apa-apa. Gue bisa kok pulang sendiri. Thanks banget ya."

Ari cuma menggeleng samar lalu kembali duduk di hadapan Tari. Walaupun wajahnya terlihat enggan, toh cowok itu memilih untuk tetap menemaninya. Menunggu Tari melahap habis mangkok keduanya alih-alih meninggalkan dia sendirian di sana.

Tari mengatur wajahnya sedemikian rupa supaya letupan bahagia yang sekarang membuncah dalam dadanya, tidak terbaca oleh kedua mata Ari. Sebagai jawaban, Tari cuma mengucapkan terima kasih lalu kembali menatap mangkuk buburnya dalam-dalam.

Saat mangkuk kedua itu akhirnya tandas juga, Ari mulai bereaksi. Tidak seperti reaksi pertamanya yang langsung berdiri, kali ini cowok itu berniat memastikannya terlebih dahulu pada Tari. "Udah kenyang?" tanyanya dengan satu alis terangkat.

Saat Tari mengganggukkan kepalanya sebagai jawaban, barulah cowok itu kemudian bangkit berdiri lalu berjalan menghampiri mas-mas penjual bubur tersebut.

"Berapa, Mas?" tanya Ari.

"Eh nggak usah, Ri! Biar gue aja yang bayar," cegah Tari buru-buru.

Ari tidak peduli pada protes itu, ditanyanya lagi penjual bubur tadi sambil menaikkan kedua alisnya.

"Semuanya jadi tiga puluh ribu, Mas."

Ari merogoh sakunya lalu menyerahkan selembar uang senilai lima puluh ribu pada penjual tersebut. Tanpa meminta kembaliannya, cowok itu langsung berlalu menuju tempat motornya diparkir.

Tanpa Ari sadari, Tari terperangah. Terperangah pada hal yang baru saja dilihatnya. "Ari.... Kenapa elo harus bener-bener mirip sama Matahari Senja sih?" runtuknya untuk kesekian kali. Kini, ingatan Tari langsung melayang pada novelnya, pada sebuah adegan saat Ari dan Tari makan gado-gado di sebuah taman kota. Saat itu, Ari melakukan hal yang sama, dia menanyakan berapa harga gado-gado itu, lalu memberikan sejumlah uang tanpa meminta kembaliannya.

"Mau pulang nggak sih lo?" Suara ketus Ari menyadarkan Tari dari keterkesimaannya. Keterkesimaan karena kedua Ari yang dikenalnya kian hari kian serupa.

Tari yang masih bergeming di tempat duduknya kini segera berjalan menghampiri Ari yang sudah berada di atas motor, lengkap dengan helm.

"Sorry," jawab Tari sambil menerima jaket yang diulurkan oleh cowok itu. Dengan senyum yang disembunyikannya di balik rambut panjang yang memang dia biarkan tergerai, Tari buru-buru memakai jaket itu, lalu naik ke boncengan. Saat tubuh Tari akhirnya terhalang sempurna oleh punggung Ari, tawa yang sedari tadi dia sembunyikan kini dibiarkannya merekah lebar, selebar bunga matahari.

***

"Hah! Elo ditolongin sama Ari?" Vero menjerit tak percaya saat Tari menceritakan kejadian kemarin.

"Sssssstttttttt! Berisik banget sih lo!" desis Tari sambil membekap mulut Vero cepat-cepat.

"Sorry-sorry. Ini terlalu mencengangkan soalnya. Terus-terus?"

"Nggak ada terus. Udah begitu aja. Tapi sumpah ya, Ver. Di balik semua sikap dinginnya itu, nggak tau gimana gue bisa ngeliat kalo Ari ini sebenernya baik. Buktinya, dia mau nungguin gue makan dan nganterin gue sampe rumah," jelas Tari dengan mata yang kini menerawang.

"Bener-bener mirip Matahari Senja ya," gumamVero.

"Maksudnya?"

"Yah, sama kayak Matahari Senja, walaupun dia tukang tawuran, biang kerok di sekolah, dan selalu bikin Tari kesel, sebenernya dia itu baik. Dia jadi annoying begitu kan karena dia marah sama keadaan. Keadaan yang terpaksa memisahkan dia sama nyokap dan sodara kembarnya."

"Bener juga lo, Ver!" balas Tari sambil menjentikkan jarinya seolah mendapat pencerahan tiba-tiba. "Ari di novel jadi annoying begitu karena ada sebabnya. Jadi mungkin aja Ari kita ini jadi nyebelin begitu juga karena ada sebabnya! Lo kan bilang kalo dari dulu Ari itu misterius. Nggak ada yang tahu dia. Nggak ada yang deket sama dia. Gue yakin, Ari jadi introvert begitu juga pasti ada sebabnya!"

"Emang apa sebabnya?"

"Pasti bakal gue cari tahu!" ucap Tari penuh tekad.

"Caranya?"

"Hehehe.... yang itu gue belom tahu," balasnya sambil menjulurkan lidah.

"Capek deh lo," balas Vero yang sontak memutar kedua bola matanya.

Tepat pada saat itu, orang yang mereka bicarakan sejak tadi memasuki ruang kelas. Masih seperti biasa, dengan cuek, tanpa melirik kiri ataupun kanan, cowok itu berjalan menuju tempat duduknya yang terdapat di pojok belakang kelas.

Saat sosok jangkung itu kemudian berjalan melalui meja Tari, cewek yang kemarin telah diselamatkannya, reaksinya juga tidak berubah sama sekali. Tanpa menoleh apalagi mengucapkan selamat pagi, Ari berlalu begitu saja. Seolah buta, Ari melewati sosok Tari yang saat itu jelas-jelas menatapnya.

Tari yang awalnya hendak menyampaikan terima kasihnya sekali lagi, kontan menahan suara itu di dalam mulutnya. Saat dilihatnya cowok itu berlalu seolah hal yang terjadi kemarin bukan apa-apa, Tari mendadak dibuat sadar, tak ada apapun yang berubah dari pertolongan yang telah Ari berikan padanya kemarin. Hingga saat ini, perjuangannya untuk mendekati Ari masih tetap berada di garis start. Di garis nol.

Satu yang Tari tidak pernah tahu, dibalik semua sikap acuh yang selama ini Ari perlihatkan padanya, sesungguhnya Ari sedang berperang dengan dirinya sendiri. Berperang untuk menyelaraskan hati juga logika di kepala.

Hati yang dia tahu, belum siap untuk menghadapi fakta yang mungkin akan kembali membuatnya terpuruk, serta logika yang memaksanya untuk mendapatkan kepastian itu secepat mungkin, jika tak ingin terus tersiksa.

***

Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang