BAB 17

2.8K 178 19
                                    


H-3 pertunjukan, Ari dan Tari kembali berkutat mencari berbagai properti yang mereka perlukan untuk drama Peterpan mereka.

"Thanks, Ri," ucap Tari saat Everest hitam Ari sudah berhenti di depan pagar rumahnya.

"Sama-sama," balas Ari singkat.

"Oke deh. Gue masuk ya."

"Eh... tunggu, Tar," balas Ari cepat, membuat Tari mengurungkan niatnya yang sudah hampir membuka pintu.

"Ya?"

"Masih banyak yang perlu kita beli?"

"Propertinya?"

"Iyalah. Apalagi?"

"Hem, lumayan. Emang kenapa?" tanya Tari tidak mengerti.

"Nggak apa-apa. Yaudah, besok gue jemput di sekolah ya," jawab Ari.

Tari baru saja akan mengangguk saat disadarinya pernyataan itu terdengar aneh di telinga. "Jemput di sekolah?" ulangnya. "Kita kan satu sekolah," sambung Tari dengan kening keriting.

"Gue mau cabut sekarang. Mungkin besok siang baru balik ke Jakarta. Makanya, gue jemput elo di sekolah, baru kita cari barang-barang lagi."

"Maksudnya? Lo mau pergi ke luar kota sekarang juga?" tanya Tari dengan mata membulat tak percaya.

"Kayaknya," jawab Ari datar.

"Mau ke mana, Ri? Udah malem," tanya Tari mendadak panik. "Terus besok lo cabut sekolah gitu?" Jelas cewek itu terdengar khawatir.

"Udah tenang aja. Masuk sana, udah malem," perintah Ari yang jelas tidak berniat menjelaskan apapun pada Tari.

Ya, bahkan setelah hari itu Tari melihat cowok ini menangis, Ari tetaplah Ari. Ari yang tidak banyak bicara. Ari yang lebih memilih untuk menyimpan semuanya sendiri.

"Kenapa nggak pulang aja sih, Ri?"

"Buat apa pulang kalo nggak ada apa-apa di rumah?" jawabnya malas.

Tari mentautkan kedua alisnya. "Lo pergi malem-malem begini, nggak kasian sama nyokap lo?"

Ari mendengus. "Harusnya pertanyaan itu lo tanyain ke dia, bukan ke gue."

Saat dilihatnya wajah Tari semakin tak berbentuk karena bingung, Ari berusaha menenangkan. "Gue udah biasa begini. Lo nggak usah khawatir."

Tari tidak lagi membantah. Dalam diam, ditatapnya wajah Ari lekat-lekat. Satu lagi hal baru yang diketahuinya  malam ini. Bahwa hubungan Ari dengan sang mama ternyata meleset jauh dari yang Tari bayangkan.

"Kasian banget sih lo, Ri. Bener-bener sendiri," batinnya lirih. Begitu lirih hingga sorot sedih itu terlihat jelas di matanya.

Tanpa Tari sadari, tangan Ari sudah mengacak lembut rambutnya, membuat Tari sedikit tersentak karena sadar tangan itu sudah mengalirkan semacam aliran listrik ke sekujur tubuhnya.

"Makasih, Tar," ucap Ari mengejutkan.

"Buat apa?"

"Karena lo udah khawatir sama keadaan gue."

***

H-2 pertunjukan, Ari memenuhi janjinya untuk menjemput Tari di sekolah sore ini.

"Akhirnya..." ujar Tari lega saat akhirnya dia dan Ari meninggalkan toko matrial usai membeli cat dan kuas.

"Udah semua?"

"Done! Harusnya sih udah nggak ada lagi yang perlu kita beli. Gila, capek juga ya jadi seksi properti," jawab Tari.

Ari hanya mengangguk. "By the way, kalo kita cari makan dulu, elo kemaleman nggak?" tanya Ari sambil melirik jam digital yang terdapat di atas dashboard mobilnya. Hari ini mereka memang agak terlambat karena Tari harus mengikuti ekskul basketnya lebih dulu.

"Nggak. Nggak kemaleman kok. Gue juga udah laper banget soalnya."

Ari kembali mengangguk sambil terus melajukan mobilnya menuju sebuah restoran yang dulu pernah jadi restoran favoritnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja Ari rindu makan di tempat itu.

Tari mengerjapkan matanya di depan sebuah restoran mewah saat setengah jam kemudian, keduanya sampai di sana.

"Ayo, Tar," ajak Ari saat dilihatnya Tari masih bergeming.

"Kenapa kita ke sini?" tanya Tari sambil berjalan mendekat.

"Kenapa?" Ari balik bertanya. "Nggak suka ya?"

"Bukan... bukan...," jawab Tari cepat. Cewek itu bingung sendiri bagaimana mengungkapkan pada Ari kalau dirinya sungkan. "Emang sih, tiap kali jalan sama Ari, pasti Ari yang traktir. Tapi kalo restorannya semewah ini, gue kan nggak enak juga. Bayar sendiri? Bisa sih, tapi itu artinya gue bakal puasa sampe bulan ini berakhir."

"Terus?"

Tari mati kutu. Sekarang, cewek itu mulai menggaruk pelipisnya.

"Udah nggak usah kebanyakan mikir, gue udah laper nih," jawab Ari tidak sabar. Sambil menggandeng Tangan Tari, Ari menggiring cewek itu masuk.

"Untuk berapa orang?" sambut seorang pramusaji dengan sopan.

"Dua," jawab Ari singkat.

Sambil membungkuk agak rendah, pramusaji tersebut segera berjalan menghantarkan keduanya ke sebuah meja yang terletak di samping kolam. Tari yang sudah terpukau pada tampilan luar resto ini, kini resmi jadi semakin takjub saat menyusuri bagian dalamnya. Resto yang di-design menyerupai kastil-kastil tua di Eropa ini praktis membuat Tari seakan terbang ke benua itu.

"Keren banget. Jadi berasa kayak princess," kikik Tari sambil memperhatikan tangannya yang masih berada dalam genggaman tangan Ari. "Kalo elo prince-nya sih gue nggak bakal nolak, Ri. Sumpah deh!" pikir Tari dengan wajah yang mulai memanas dan bersemu kemerahan.

Saat pikiran itu masih membuai indah imajinya, langkah Ari mendadak terhenti.

"Kenapa, Ri?" tanya Tari spontan.

Tidak ada jawaban untuk pertanyaan tadi. Cowok itu bergeming dengan mata memicing ke satu titik.

Tari sendiri lalu menatap Ari dengan tatapan tidak mengerti. Dan ketika akhirnya dia menyadari kalau mata itu sedang memerangkap sesuatu, Tari mengikuti.

Di sebuah sudut, seorang laki-laki paruh baya dan seorang wanita seusia terlihat sedang menyantap makan malam mereka sambil bergurau sesekali. Tari sama sekali tidak tahu siapa mereka, tapi dari cara Ari menatap keduanya, Tari tahu kalau ini sama sekali bukan pertanda baik.

Baru saja mulut itu terbuka, hendak bertanya siapa mereka, sebuah suara melengking yang sudah begitu familiar tiba-tiba saja memekakkan telinga Tari juga Ari.

"Ari!" teriakan khas bernada 8 oktaf milik Fio nyatanya tidak cuma membuat iritasi telinga Ari dan Tari, tapi juga hampir semua pengunjung resto yang berada dalam radius 50 meter di sekeliling mereka. Hitungan yang hampir pasti karena sesaat setelah Fio berteriak, laki-laki dan wanita paruh baya yang tadi sedang menyantap makanan mereka sontak ikut menatap keributan yang telah dibuat oleh cewek itu.

"Ayo, Tar," ucap Ari buru-buru. Sikapnya sekarang jelas memperlihatkan kalau cowok itu sedang menghindari sesuatu. Sambil menarik tangan cewek yang memang masih berada dalam genggamannya, Ari bermaksud meninggalkan resto ini sebelum hal yang paling tidak diinginkannya terjadi.

Sayang, langkah mereka terlambat. Suara Fio yang benar-benar membahana kini disambut oleh sebuah jeritan yang hampir mirip. "Fio!" seru wanita paruh baya yang sejak tadi diperhatikan Ari.

Kepada wanita itu, Fio balas berteriak. "Mama!" ucapnya ceria.

Bagai tersambar petir, Ari mempererat gengamannya pada tangan Tari, berjalan secepat yang dia bisa, lalu pergi meninggalkan resto tersebut.

Saat dilihatnya kedua orang itu pergi dengan langkah-langkah cepat dan panjang, Fio memicingkan kedua matanya. "Kayaknya yang kemaren belom cukup ya? Hhhhh..." Fio mendengus geli. "Sorry, Ri. Sorry karena kayaknya gue bakal bikin elo lebih sakit lagi."

***


Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang