BAB 5

4.4K 214 9
                                    

Siang ini, lagi-lagi, setelah jam istirahat kedua berbunyi, Ari tidak kembali ke kelas.

"Ari kemana sih, Ver? Kok nggak ada lagi?" tanya Tari tanpa bisa dicegah.

"Dari kemaren kayaknya lo nanyain Ari terus? Ada apa nih?" Vero balik bertanya diiringi kedipan jahil.

"Nggak apa-apa," jawab Tari yang sontak berusaha keras mencegah rona merah timbul di wajahnya. "Gue cuma bingung aja. Dia kok kayaknya nggak niat sekolah gitu sih?"

"Cie, takut dia nggak lulus nih ceritanya?" goda Vero semakin menjadi.

"Ya kalo dia males-malesan gitu gimana bisa lulus coba?" balas Tari dengan mimik sok masa bodoh.

"Hem! Jangan salah lo! Tu anak emang keliatannya aja males, tapi asal lo tahu, Tar. Dia nggak pernah keluar dari ranking 3 besar di kelas!"

"Bohong lo! Kok bisa?!" pekik Tari sangsi.

Vero menggendikkan kedua bahunya. "Nggak tahu. Udah pinter dari lahir kali. Lo tahu kan kalo dunia itu kadang nggak adil? Ada aja gitu orang yang nggak pernah belajar, tapi tetep pinter. Sedangkan gue, udah belajar sampe kepala rasanya mau meledak, nilainya ya cuma segitu-segitu aja," balas Vero dengan bibir mengerucut kesal.

Tari menatap Vero begitu rupa. Antara takjub, kaget, juga penasaran.

"Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu? Khawatir sama Ari?" Vero kembali menggodanya.

"Ck, apaan sih lo? Ya gue cuma ngerasa ada yang aneh aja sama tu cowok," kilah Tari cepat.

Vero mengerang. "Berapa kali coba gue harus bilang sama lo? Ari emang aneh, Tar. FYI, dari kelas sepuluh gue selalu sekelas sama dia. Awalnya sih kayaknya berkah banget gitu ada cowok ganteng di kelas. Tapi lama-lama ya itu, lo liat kan kalo dia nggak jelas. Nggak pernah mau bergaul, nggak pernah mau ngobrol bareng atau nongkrong bareng. Dia selalu sendiri. Kalo nggak kepaksa, dia pasti nggak bakal ngomong. Makanya gue pernah bilang sama lo, dia itu ada cuma untuk diliat Tar, bukan direngkuh. Dia itu terlalu jauh. Terlalu jauh sampe-sampe butuh usaha super buat sekedar mengenali. Tuh, salah satu korban nyata, si Fio. Tapi apa coba yang terjadi? Dari kelas satu tu anak doyan banget nempel-nempel sama Ari, tapi toh sampe sekarang dia sama butanya soal Ari. Sama kayak kita."

"Emang nggak ada yang pernah nanya dia kenapa? Kali aja dia mau share masalahnya kalo dideketin baik-baik," tanya Tari yang belum juga mengerti.

"Dengan kata lain, cara Fio deketin Ari itu nggak baik-baik gitu?" Vero balik bertanya sambil terkekeh.

"Menurut lo?" tanya Tari sarkastik.

"Hahaha...." Vero tergelak.

"Serius deh, Ver. Bener-bener nggak ada yang tahu ya dia kenapa?" tanya Tari penasaran.

"Ck! Elo tuh... Gue udah sering gue bilang kan belom pernah ada sejarahnya arca bisa ngomong," jawab Vero gemas.

"Sediem itu ya dia?"

"Lo kan bisa liat sendiri."

Tari mengerucutkan bibirnya. Kelihatannya dia memang harus kerja keras untuk bisa dekat dengan Ari yang satu ini. Tapi jelas, dia tidak akan mendekatinya dengan cara yang selama ini sudah Fio praktekkan. Ya iyalah! Semua juga bisa lihat kalau cara itu justru sukses membuat Ari merasa enek daripada enak.

Satu yang Vero tidak tahu. Dia salah. Buat Tari, Ari adalah mataharinya. Ari bukan hanya sekedar untuk dilihatnya, tapi memang untuk direngkuhnya. Merengkuh cowok itu, walau dengan demikian, dia punya resiko terbakar.

***

Sibuk berfikir membuat Tari tidak sadar kalau Bu Nina, guru seni mereka, sudah datang. Sekarang beliau sedang sibuk memberikan penjelasan beserta tugas untuk membuat gambar perspektif 3 dimensi kepada seluruh kelas. Mereka diberikan waktu selama dua jam pelajaran untuk berkeliling sekolah, guna mencari objek yang ingin mereka gambar.

Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang