BAB 23

3.1K 293 31
                                    

Sepanjang malam itu, Ari merenungkan jawaban mamanya. Berusaha menyibak makna di balik kiasan metafora yang dipakainya.

Kalau tidak salah mengartikan, harusnya rasa cinta itu masih ada. Ada, walaupun tak akan lagi pernah sama.

"Hhhhh...." Ari menghela napas dalam-dalam. Dia harus membuktikannya. Kalau memang rasa cinta itu masih ada, Ari tak akan membiarkan hingga nantinya rasa itu benar-benar mati.

Ya, hanya itu yang dia perlukan sebagai langkah awal. Dia harus mencari sebuah cara untuk memastikan apakah kain itu masih ada walaupun sudah robek di setiap bagian, atau malah sudah hangus menjadi abu yang siap disebarkan di laut lepas.

Ya, dia harus tahu. Karena hanya dengan cara inilah, dia bisa memperbaiki banyak hati. Hati yang bukan hanya menjadi hatinya, papa, ataupun mamanya, tapi juga hati seorang cewek yang sudah berkorban terlalu banyak untuk dia.

***

"Pagi," sapa mamanya saat Ari berjalan menuruni tangga pagi itu.

"Mama?" tanya Ari agak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pagi ini, mamanya terlihat sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Sarapan yang Ari tahu pasti, disiapkan untuk dirinya.

Takjub, Ari mendekati sang mama sambil mencium pipinya dengan lembut. "Pagi, Ma," balasnya dengan nada suara yang menyiratkan kerinduan mendalam.

Rasanya sudah begitu lama sejak terakhir kali Ari mengucapkan selamat pagi sambil mencium pipi mamanya seperti pagi ini, atau sekadar melihat sang mama melakukan aktifitas layaknya seorang ibu rumah tangga seperti sekarang.

"Sarapan, Sayang," balas mamanya sambil meletakkan sehelai roti bakar yang telah dilapisi selai cokelat ke atas piring Ari.

Sambil berharap bahwa ini semua bukan mimpi, Ari menatap roti itu lekat-lekat. "Mama masih inget roti kesukaan Ari?" tanya Ari yang kini tersenyum hangat.

"Nggak akan pernah lupa," jawabnya sambil menuangkan susu cokelat ke dalam gelas Ari.

Sambil berbincang ringan, Ari lalu duduk dan menyantap sarapannya bersama sang mama. Pagi ini, setelah bertahun-tahun lamanya, rumah itu terasa kembali hidup. Saat senyum dan tawa kembali hadir di sana.

"Mulai sekarang, Mama janji bakal ada di Jakarta sebisa mungkin. Kalau nggak mendesak, Mama nggak akan keluar negeri," janjinya di tengah sarapan mereka pagi itu.

"Beneran?" tanya Ari terkejut. Begitu terkejutnya sampai susu yang sedang dia minum hampir menyembur keluar. Kalau ini cuma mimpi, maka Ari memutuskan untuk tidak mau bangun lagi.

"Iya. Mama mau ngurus kamu. Menebus tahun-tahun yang udah Mama sia-siakan," jawab mama Ari sambil tersenyum.

"Terus, semua butik Mama yang ada di Eropa gimana? Masa ditinggal begitu aja?"

"Mama udah percayain semuanyanya sama Lorrina, orang kepercayaan Mama. Emang sih, bisnis ini penting sekali buat kita. Kamu kan tahu kalau sekarang Mama hampir jadi single parent." Ada getir saat beliau mengucapkan kedua kata terakhirnya. "Jadi, Mama memang harus punya usaha buat biayain hidup kita," sambungnya penuh tekad. "Tapi kamu tenang aja, Mama sudah memutuskan kalau kamu tetap akan jadi prioritas Mama." Wanita itu cepat-cepat meneruskan kalimatnya saat wajah Ari mulai menyiratkan protes.

Ari tersenyum miring mendengar janji itu. Kelihatannya, dia harus cepat-cepat menemukan cara untuk membuktikan hipotesanya semalam. Secepatnya, sebelum semua terlambat.

***

"Pagi," sapa Ari saat berjalan melalui meja Tari. Walaupun cowok itu hanya mengucapkan salamnya sambil lalu, dalam artian tanpa melirik apalagi berhenti di sisi tempat duduk Tari, cewek itu tetap saja terperangah.

Jingga Memang Untuk Matahari (Fanfiction Jingga dan Senja Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang