Chapter 9 : The God of Death System

18.4K 2.6K 203
                                    

It's been a long time, and I am really sorry.

Tapi chapter ini cukup panjang sebagai permintaan maaf.

Song for this chapter is Arabella by Artic Monkey. Please listen to it on REPEAT. Thank you very much.

By the way, siapa yang punya rekomendasi laki-laki Asia, langky, with dark aura? But please jangan rekomendasi someone cute, because Jimmy isn't cute at all. He's god of IT, don't make him angry.

Anyway, Enjoy

****

Mia mengintip mereka yang berpesta di bawah sana.
Api unggun di nyalakan, suara nyanyian dan tawa kasar menggema dari area berkawat duri ini, ke seluruh lorong jalan yang sepi.

Berbeda dengan kelompok survivor milik Tyaga, pemuda mengerikan yang menjadi ketua kawanan ini tampaknya berpikir lebih jernih dan tidak menganggap remeh apapun.

Karena sekalipun mereka bersenang-senang, kawasan ini tampak di jaga ketat oleh laki-laki bersenjata. Jumlah kawanan mereka pun mungkin masih kalah banyak dengan Tyaga, tapi mereka matang. Mereka jauh lebih menang dari segi strategi.

Lelah mengamati, Mia mulai merangkak ke atas kasur dan bergulung di atasnya.
Sinar terang dari bulan merah yang menyala-nyala, membiaskan cahaya matahari pasca badai itu berakhir, menjadi penerangan Mia satu-satunya di kamar ini.
Matanya terpejam, jiwanya mulai tertarik ke alam mimpi.
Tidak butuh waktu lama untuk gadis itu terlelap tanpa bunga tidur yang indah membuai, atau justru cengkraman mimpi buruk mengerikan menghadang.

Sedikit kepercayaan mulai diberikan Mia pada tempat ini, walaupun tidak jauh berbeda dengan perlakukan di Eagle Eyes tapi setidaknya dia tidak digilir seperti benda mati tak berperasaan.

Mia tertidur di dalam kamar yang mungkin akan menjadi tempat terakhirnya berpindah-pindah sebelum bertemu kembali dengan Davine di balik dinding nanti.

Tidak ada hal yang mengusik awalnya, sampai cahaya asing seperti tertangkap penglihatan dari mata yang sudah menyatu dengan kegelapan.
Tuhan memang adil, karena ketika dia tidak memberinya pendengaran yang bagus, Ia justru menajamkan indramu yang lain.

Mia langsung terbangun dan memperhatikan dalam diam siapa yang berjalan gontai masuk ke dalam kamar ini. Aroma alkohol yang menyengat langsung menyeruak masuk ke hidung Mia membuatnya mengernyit.
Laki-laki itu tersungkur di bawah ranjang, terduduk di lantai membuat jarak antara kepala mereka menjadi setara.

Wajahnya menoleh ke arah Mia yang hanya diam berpura-pura tidur. Dia tidak akan bisa melihat mata gadis ini terbuka dengan keadaan cahaya seminim ini.

Tangannya terangkat ke pundak Mia, dan dia guncang pelan. Entah apa yang dia katakan, tapi sepertinya dia ingin gadis itu bangun.

Mia berdehem, lau akhirnya menjawab parau. "Apa..."

Tidak ada respons apapun. Atau mungkin dia sedang bicara dan Mia tidak bisa mendengarnya.

Dia merogoh kantung celananya. Kiri-kanan, dan kantung belakang dengan gerakan kikuk dan bingung.

Alisku bertaut.

Mia memfokuskan matanya ke bibir orang itu, cahaya yang keluar dari pintu tak tertutup di depan pun membantu Mia membaca beberapa kalimat seperti: Sial, dimana ku letakkan benda itu.

Alex kemudian menyerah dan hanya berbaring di lantai seperti pingsan atau dia memang kelelahan.

Suasana sunyi.

Mia memperhatikan tubuh Alex yang tidak bergerak di lantai, lalu menoleh ke arah pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Berulang kali, sampai sebuah keputusan muncul.

Behind The Wall (Behind The Wall Trilogy #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang