Happy reading all.
***
"Aku tanya, sedang apa kau di sini?" ulang Jhonny sebelum duduk di sisi kiri Alex.
Dia membawa benda yang terlihat seperti mangkuk kaleng berisi air dan kain kasa tipis. Awalnya aku tidak begitu paham dengan apa yang berusaha dia lakukan, tapi ketika Jhonny mulai membasahi kain kasa tersebut dengan air. Lalu dengan perlahan dia memerasnya ke bibir dan wajah Alex, barulah aku sadar dia ingin memberinya minum atau menyegarkannya sedikit.
Tidak ada satupun orang yang terpikir untuk melakukan itu. Padahal jika dilihat-lihat, Alex memang membutuhkannya, dari bibirnya yang pecah-pecah dan kering.
Jhonny kembali melirikku yang masih belum menemukan kata-kata dan masih berdiri seperti orang bodoh menyaksikan pekerjaannya. "Tidak mau jawab? Apa kau mau meracuni Alex lagi?"
Mataku membulat shock, tentu saja dia masih mengingat hal itu.
Aku menggeleng cepat, "Ti-tidak, tentu saja bukan. Aku tidak inginmencelakainya. Hanya ingin melihat keadaannya."
"Kenapa kau tidak bersama Jimmy? Ku kira kau selalu mengikutinya. Dimana dia sekarang?"
"Dia kembali ke kamarnya..." jawabku dengan suara kecil, tidak ingin membuatnya marah.
Jhonny tetaplah orang yang mengerikan sekalipun dia tahu aku sudah membantu kelompoknya selamat dari kehancuran. Belum lagi tentang pembawaanya yang membuat semua orang terasa bagaikan tikus kecil, serta bayangan ketika dia menamparku waktu itu. Semuanya masih membuatku was-was seperti berjalan di atas hamparan kaca yang rapuh..
Jhonny tidak lagi bicara. Begitupun dengan ku.
Dia terus memberi minum Alex dengan caranya. Lalu berhenti untuk memperhatikan rekannya yang menderita banyak luka bakar mulai dari tubuh sebelah kanan, leher hingga telinganya. Serta luka tembak yang sudah ditangani dan ditutup rapat dengan perban.
"Kau hanya ingin menonton saja atau ingin membantu?" perkataan Jhonny yang tiba-tiba membuatku kembali terperanjat.
"Bo-boleh aku membantu?"
"Oles ini di luka bakarnya. Dia mungkin kesakitan, tapi ini manjur. Pastikan dia tidak berisik." Jhonny menyerahkan sebuah wadah tertutup plastik yang diikat karet. Lalu bangkit dan pergi entah kemana.
Aku memperhatikannya hingga jauh dan tanpa sadar menghela napas lega. Ku lihat wadah yang diberikannya kepadaku dan mulai duduk di tempat yang ditinggalkan Jhonny tadi. Wadah sebesar telapak tanganku dengan penutup lembaran plastik yang diikat karet. Waktu penutupnya ku buka, aroma tidak sedap seperti bau hewan busuk dan campuran air dari got menyeruak dari dalamnya.
Membuatku sedikit ragu kalau ini benar-benar obat, atau justru Jhonny juga ingin meracuni Alex dan meminjam tanganku untuk melakukannya.
Ku sentuh-sentuh benda lengket yang sangat bau itu dengan jari dan mengoleskannya ke punggung tanganku untuk mencobanya. Tidak terjadi reaksi apapun. Kulitku tidak melepuh atau memerah karena iritasi seperti yang ku takutkan akan terjadi.
Pelan-pelan aku mulai mengoleskannya ke luka-luka di tubuh Alex yang masih segar dan memerah seperti daging panggang. Awalnya dia tidak bereaksi apapun, tapi tak lama kemudian dia mulai meringi. Tubuhnya mulai gelisah, dan akhirnya berteriak sampai aku refleks membekap mulutnya dengan kedua tanganku. Matanya membuka untuk ertama kali, dia melototiku seperti ingin membunuhku searang juga.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Aku sedang mengoleskan obat, Alex! Tenanglah."
"Panas!" dia mengangkat kepalanya dan menghempaskannya lagi dengan paksa, "Panas brengsek... ini perih sekali!" racaunya di balik telapak tanganku yang kembali membekap mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Wall (Behind The Wall Trilogy #1)
Science FictionCover By @an-apocalypse Bayangkan, dengan keadaan survivor di luar dinding yang mulai kehilangan rasa kemanusiaannya. Dan sanggup membunuh hanya demi sebotol air, rasanya hampir mustahil untuk gadis 17 tahun yang tuli, lemah dan penakut sepertiku un...