Chapter 19 : The Act

13.4K 2.5K 83
                                    

Maaf kalau masih ada typo. Oh iya terima kasih juga untuk follow nya di instagram haha salam kenal ya. Selamat membaca.

***

Rasanya semua usaha sudah aku kerahkan –mulai dari menangis, memohon, dan akhirnya bicara secara rasional kalau mereka harus berhenti memukulinya dan justru membiarkan aku yang menggali informasi pada Tyaga karena aku bisa membuatnya bicara tanpa harus menyiksanya. Sudah ku katakan pula kalau memukulinya tidak akan memberikan mereka kemajuan apapun dalam penyelidikan dalang besar sumber kekuatan penyerangan ini. Tetapi Bahrain pemimpin Nawa justru dengan dingin menjawab kalau kematian Tyaga pun tidak masalah asalkan mereka berhasil membalas dendam karena sudah banyak menimbulkan kematian di kelompok mereka.

Jawaban pria tua bermata satu itu nyaris membuatku berhenti percaya pada peri kemanusiaan saat itu.

Untungnya Jimmy dan kemudian Ades, akhirnya memberi tanggapan yang sedikit menguntungkan untukku pada pimpinan mereka masing-masing. Baron tidak begitu agresif menanggapi kabar yang disampaikan tangan kanannya tersebut karena menurutnya, mereka memang beraliansi namun daerah ini, tetaplah kekuasaan Jhonny.

Jhonny hanya diam, sementara Bahrain merentang-rentang tidak ingin aku diberi izin mendekati ruangan gelap dan lembab, tempat dimana siluet Tyaga dengan kedua tangan yang tampak tergantung ke atas langit-langit ruangan, dengan kepala dan tubuhnya terkulai lemas.

Keputusan akhirnya dibuat, aku mulai berjalan dengan hati-hati bersama obor untuk menerangi jalanku masuk ke dalam kamar penyiksaan itu.

Napasku rasanya tercekat meihat kondisinya yang mengenaskan. Rambut hingga punggungnya semuanya berdarah. Bahkan celana yang dia pakai saat ini.

"Biarkan mereka menurunkannya..." ku dengar Jimmy berkata. Aku bisa merasakan mereka semua berkumpul di depan pintu menyaksikan gerak-gerikku terhadap Tyaga.

Kepalaku menoleh ke arah orang-orang itu. Memohon semoga masih ada rasa kasihan dalam diri mereka terhadap sesama manusia. Tatapanku terpaku pada Jhonny yang terus memperhatikan dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Dia pula yang lebih dulu mematahkan adu pandang kami dan menoleh ke survivor Evidance yang ada di dekatnya. Dengan sekali anggukan kecil para survivor itu langsung datang menghampiri Tyaga dan melepaskan ikatan di kedua tangannya.

"Jhonny! Kau terlalu gegabah." Bahrain – laki-laki bermata satu sekaligus pemimpin Nawa berseru protes.

"Berikan saja kesempatan itu, lagipula dia tidak akan bicara dengan penyiksaan seperti apapun yang akan kau berikan kepadanya. Kita tidak mau dia matikan?"

"Kalau siksaan saja tidak bisa membuka mulutnya, bagaimana bisa perempuan seperti dia mengorek informasi itu?"

"Kita tidak tahu apa yang bisa dilakukannya. Tunggu saja hasilnya." Ujar Jhonny untuk terakhir kali sebelum beranjak dari depan pintu ruang tahanan ini, diikuti oleh yang lainnya. Hanya Jimmy yang tetap tinggal, menyandar ke dinding dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Seolah tidak ingin melewatkan hal sekecil apapun yang terjadi.

Aku berusaha mengabaikannya dan fokus pada survivor yang kini berhasil menurunkan Tyaga. Mereka melepas ikatan di tangannya namun justru mengikat kakinya.

Cepat-cepat aku mendekat dan duduk di sebelahnya, "Tyaga... Tyaga ayo bangun. Buka matamu!" namun tidak jawaban apapun.

"Berikan aku sesuatu untuk mengobati luka-lukanya." Kataku kepada Jimmy yang tidak menjawab apapun.

"Jimmy! Aku mohon."

"Obat sangat berharga saat ini. Kami tidak bisa memberikannya begitu saja pada sesuatu yang tidak ada gunanya." Ujarnya dingin dan sangat ampuh membungkam permintaanku. "Buktikan padaku dia berguna."

Behind The Wall (Behind The Wall Trilogy #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang