Alex mengurangi kecepatan kendaraannya ketika sudah mendekati area rawan tersebut. Di atas tebing dengan pembatas yang sudah hilang dan dulunya adalah jalan raya, dia memperhatikan kawasan luas, dipagari pagar besi dengan penjagaan ketat sama seperti Evidance. Hanya saja, Kelompok ini terlihat jauh lebih besar.
Diparkirkannya motor besar itu lalu duduk dibaliknya. Menjadikan benda besar itu sebagai pelindung. Pundaknya mulai kembali sakit setelah berkendara kurang lebih 6 jam tanpa berhenti.
Alex menghela napas dengan keras begitu menghempaskan tubuhnya ke tanah. Dia mulai merogoh tasnya untuk mencari obat dan jarum suntik yang dia cari, tetapi tangannya justru menyentuh sesuatu yang bergemerincing.
Dikeluarkannya benda itu, satu dari dua lonceng yang awalnya saling berkait ada di dalam sana. Alex tersenyum kecil. Benda itu tidak seharusnya ada di dalam tasnya karena dia ingat sudah memberikannya pada Mia sebagai kenang-kenangan. Entah sejak kapan ternyata Mia membagi lonceng itu menjadi dua dan memberikan salah satunya ke Alex.
"Dasar bodoh, apa dikiranya aku akan mati semudah itu?" Alex menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir tapi tetap mengikat lonceng itu di dekat pinggang sebelum kembali mencari obat untuk pundaknya yang sakit.
Alex menyuntikkan cairan obat tersebut tepat di pundaknya yang tidak tertutup baju pelindung sambil terus memperhatikan sekelilingnya.
Tidak ada tanda-tanda dots merah sniper atau peringatan apapun sejauh ini. Hingga Alex nyaris yakin kalau dia aman untuk berdiri. Namun hal itu tidak bertahan lama, karena suara ban yang beradu dengan aspal datang dari arah yang sama dengan kedatangannya.
Tangan Alex bersiap meraih ke balik pinggangnya dengan gelagat tersembunyi, seolah dia hanya berkacak pinggang waktu mobil tanpa atap itu perlahan berhenti.
Ada dua orang di atas mobil tersebut. Yang mengemudi memiliki rambut afro sementara yang duduk di sebelahnya berkepala botak. Keduanya sama-sama laki-laki bertubuh besar dan berkulit gelap. Survivor, bukan prajurit. Tetapi kesamaan yang lebih disyukuri Alex saat ini tentu saja fakta kalau keduanya tidak terlihat mengacungkan senjata apapun dan menginginkannya mati.
Mereka terdiam sebentar. Sama-sama saling pandang.
"Apa yang dilakukan Messenger di sini?" Tanya lelaki afro tersebut untuk pertama kali.
"Oh tidak ada." Alex mengedikkan bahunya, dan langsung menyesal karena rasanya masih sakit. "Cuma melakukan tugas messenger. Duduk-duduk di tepi tebing, menikmati pemandangan."
Laki-laki botak disebelahnya mendengus geli, sementara si afro memicingkan mata tidak suka.
"Dia mengejekku ya?" tanyanya bercampur kesal.
"Itu karena pertanyaanmu juga aneh." Jawabnya. Membuat supir itu bersungut-sungut. "Memangnya apa yang dilakukan messenger menurutmu?"
"Mengirim pesan?"
"Lalu kenapa bertanya?"
"Maksudku kenapa dia berhenti di sini, apa pertanyaanku salah?"
"Kalau begitu sebaiknya kau tidak bertanya dengan cara seperti itu." Si Afro hendak membuka mulut untuk menjawab lagi, namun terhenti begitu rekannya mengangkat telapak tangan untuk menyuruhnya berhenti, "Serius Stevan, kita selesaikan ini nanti."
Alex terkekeh pelan, melihat si botak yang kini menggeleng pelan, sementara si afro yang dipanggil Stevan bersungut-sungut kesal.
"Well," si botak kembali menoleh ke arah Alex, "Kami juga messenger. Jadi kau bisa berhenti pura-pura berkacak pinggang dan lepaskan senjata dari tanganmu. Aku yakin kau tahu aturannya kan?"
Perkataannya membuat Alex menggigiti bibirnya agar senyumnya tidak semakin lebar. Alex kemudian mengangkat kedua tangannya, sebagai tanda menyerah. Dalam hati agak sedikit menyukai ketenangan laki-laki botak yang baru ditemuinya ini.
"Jangan salahkan aku karena curiga, karena penampilan kalian tidak seperti messenger sedikitpun bagiku." Ujar Alex membela diri. Merujuk pada pakaian yang lebih terlihat seperti tentara bayaran dengan tanktop putih dan celana militer lengkap yang keduanya pakai.
"Iya. Tapi udaranya panas sekali sekarang. Aku yakin sekarang kau juga tersiksa." Tebak Stevan jitu. Membuat Alex hanya bisa mengedikkan kepala sebagai jawaban. Fair enough. Dia benar, cuaca memang panas sekali sampai Alex mengutuk orang yang mengidentikkan messenger dengan pakaian serba hitam sebagai pengenal. Siapapun orang itu pasti tidak pernah keringatan sampai celana dalamnya juga ikut lembab. Gerutu Alex dalam hati.
"Kendaraanmu rusak? Butuh tumpangan?"
"Tidak. Aku hanya berhenti sebentar." Alex segera mengemas barang-barangnya dan kembali menyandang duffle bag tersebut. Dia juga mulai mengenakan helm dan menaiki motor yang dia parkirkan tak jauh dari interaksi mereka saat ini. "Aku tidak ingin mengganggu perjalanan kalian, jadi silahkan lanjutkan. Aku juga akan pergi sekarang." Kata Alex mengulurkan tangannya seperti mempersilahkan kedua orang itu melewati dirinya.
Kedua orang itu terdiam dan saling pandang. Sebelum menoleh lagi ke arah Alex dan senyum palsunya. "Dengar, kami tidak tahu kenapa kau ada di sini, tapi hanya sekedar saran. Jangan pernah beristirahat lagi di tempat seperti ini. Orang-orang di sana" Tunjukknya ke arah tujuan Alex, "Tidak terlalu suka dengan kunjungan, kau bisa saja sudah dibidik dari sana."
Alex menoleh ke arah tujuannya sekilas, dia mengangguk. "Aku tahu. Terima kasih untuk sarannya. Mungkin akan kuingat, mungkin juga tidak karena ini pertama dan terakhir kalinya aku di sini."
"Kemana tujuanmu?" laki-laki botak itu kembali bertanya.
"Kemana tujuan kalian?"
"Kami tidak bisa bilang."
"Begitu juga denganku." Alex mengedipkan sebelah matanya sebelum memakai kembali helmnya. "Baiklah kalau kalian tidak mau melanjutkan perjalanan lebih dulu. Biar aku saja yang pergi kalau begitu. Selamat tinggal." Alex memutar gasnya dalam menyisakan abu dari tanah kering di ban belakangnya, sebelum melaju kencang mengikuti jalan meliuk untk menuruni tebing ini.
Kedua laki-laki itu saling pandang dan terus memperhatikan Alex yang masih terlihat walau semakin jauh. Mereka punya firasat aneh begitu melihat messager dengan senyum aneh itu pergi dan semakin dekat dengan tempat yang diperingatkan tadi.
"Jangan bilang tujuannya memang ke sana..." bisik Stevan horor lebih kepada dirinya sendiri.
"Ku rasa memang iya."
Stevan menelan gumpalan ludahnya dengan susah payah. "Perintah apa yang dia dapa dari pemimpinnya?'
"Well... ku rasa menjemput kematian. Aku punya firasat buruk tentang ini."
Stevan mengangguk.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Wall (Behind The Wall Trilogy #1)
Ficção CientíficaCover By @an-apocalypse Bayangkan, dengan keadaan survivor di luar dinding yang mulai kehilangan rasa kemanusiaannya. Dan sanggup membunuh hanya demi sebotol air, rasanya hampir mustahil untuk gadis 17 tahun yang tuli, lemah dan penakut sepertiku un...