Berdua mereka berlari berlindung dari kemungkinan tertembus peluru-peluru panas, sambil menerobos pintu gudang yang tidak lagi utuh akibat ledakan. Menuju ke sebuah jalan rahasia yang berada di bawah gudang untuk mencari bantuan.
Api hasil ledakan dahsyat beberapa menit lalu masih menjilati seisi gudang. Ledakan-ledakan masih belum selesai.
Mia menutup hidungnya, untuk menghalau asap masuk ke dalam pernapasannya. Sementara Alex sibuk mencari jalan teraman menuju ke lubang di lantai gudang yang tembus ke saluran air.
Tiap letusan yang terdengar itu, membuat Mia berharap ada tombol untuk menghentikan pendengarannya. Orang-orang yang tidak dikenal itu terus menyerang, sementara Evidance terus mempertahankan kedudukan.
Alex mendorong Mia terus berlari, sambil terus menahan kepala gadis itu dan memasangkan badannya sebagai pemisah antara sumber baku tembak dan gedung yang mereka tuju.
Mereka terus bergerak menuju ke dalam gudang senjata yang masih terbakar dan masih meletus-letus tanpa kendali. Uap panas dan asap tebal mengaburkan pandangan serta menyesakkan pernapasan mereka.
Alex menendang pintu besinya dan menarik lengan Mia. Kabut asap mempersulit Alex menemukan penutup lubang air di lantai gedung. Panasnya udara membuat kulit wajah mereka seperti ikut terbakar.
"Itu di sana." Mia menunjuk sesuatu di dekat kobaran api. Misi itu nyaris mustahil, namun inilah jalan satu-satunya. Alex berlutut untuk membuka lingkaran besi itu. Saat menyentuhnya, sarung tangan yang dia pakai nyaris ikut terbakar. Alex memaki kesakitan, namun sekali lagi dia berusaha membukanya. Menahan panasnya agar ada jalan untuk mereka.
"Cepat kemari!" Alex melambaikan tangannya ke arah Mia. Gadis itu bergegas mendekat.
Mia mulai merasa aneh waktu Alex tiba-tiba menahan Mia merosot turun dan justru memegangi kaki kanannya, mengotak-atik lonceng yang selama ini dia pakaikan agar tidak bisa kabur tanpa diketahui.
Alex melepaskan benda itu dan mengantonginya.
"Ayo turunlah."
Mia mengangguk. Duduk di pinggir lubang dan mulai menginjak tangga turun menuju saluran air. Dia terus turun, tapi Alex tidak kunjung menyusul. Membuat gadis itu berhenti bergerak untuk menatapnya.
"Kau tidak ikut..."
Alex menggeleng. "Aku harus tinggal."
"Tapi Jimmy bilang kau pergi denganku, kalian butuh bantuan Baron. " Wajah Mia tampak panik.
"Itu benar. Kalau begitu panggilkan Baron untuk kami." Ujarnya dengan senyum separuh yang sama sementara peluh terus membasahi wajahnya.
Mia menggeleng. Dia tidak ingin selamat seorang diri. Dia ingin Alex juga pergi, mencari bantuan.
Pandangannya liar mencari sesuatu untuk dikatakan. "Bagaimana kalau aku kabur? Aku bisa kabur dan tidak akan kembali lagi!" pancingnya. Wajahnya mulai dibasahi hal lain selain keringat.
Alex tahu apa yang diinginkan Mia dan hanya bisa tersenyum. Di luar dugaan laki-laki itu meraih Mia dan memeluknya sekilas sebelum menjauhkan wajahnya.
"Kalau begitu pergilah. Tetaplah di tempat Baron jika kau tidak punya siapa pun untuk melindungimu. Semua orang aman di sana."
Alex mendorong Mia kembali turun. Gadis itu menangkap tangan Alex, "Aku tidak bisa."
"Dengar, kalau aku tidak berada di sini. Evidance benar-benar akan tamat. Saat kita kembali, mereka mungkin sudah memusnahkan kelompok ini. Aku harus tinggal. Kau ingin tetap hidup kan?"
Air mata mengalir dari mata Mia. Memikirkan dia akan ditangkap kembali.
"Kau bisa. Cepatlah pergi ke sana, dan bawa pasukan Baron bersamamu. Kau hanya perlu lari lurus hingga menemukan belokan. Lalu lari ke kanan. Tangga pertama yang kau lihat, panjat naik. Dorong penutupnya, dan kau sudah sampai di blok daerah milik Baron. Cari Ades, kau ingat dia kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Wall (Behind The Wall Trilogy #1)
Khoa học viễn tưởngCover By @an-apocalypse Bayangkan, dengan keadaan survivor di luar dinding yang mulai kehilangan rasa kemanusiaannya. Dan sanggup membunuh hanya demi sebotol air, rasanya hampir mustahil untuk gadis 17 tahun yang tuli, lemah dan penakut sepertiku un...