*MiaPOV*
Tawa
Mereka semua tertawa.
Walaupun aku tidak bisa mendengar suara mereka, tapi aku bisa melihatnya sangat jelas. Ekspresi puas mereka saat aku tidak berdaya. Cara mereka mengibaskan rambut mereka, semuanya terlihat waktu aku berdiri menunduk. Membiarkan apapun yang mereka inginkan terjadi tanpa ada keberanian melawan sedikitpun.
Di tangan Helena, dia melambung-lambungkan Hearing-aid milikku yang di ambil paksa. Lalu dengan senyum iblisnya, Helena menjatuhkannya ke lantai dan menginjaknya dengan salah satu sepatu hitam yang seragam.
"Selamat malam Mia." Helena mendorongku masuk ke dalam kamar kecil berisi alat-alat kebersihan. Pintu di tutup dengan sangat keras dan suara 'klik' menggema sebelum aku mulai menggedor-gedor pintunya. Pipiku basah oleh air mata, tanganku mati rasa karena terus di hempaskan ke pintu agar mereka kasihan dan memutuskan untuk melepaskan aku.
Semuanya gelap... sangat gelap. Persis seperti apa yang benar-benar terjadi. Lalu suara mendengung terdengar seperti terompet. Suara yang pasti sangat keras karena bahkan gadis tuli sepertiku bisa mendengarnya. Ruangan itu terasa panas. Aku terus menggedor walaupun hasilnya sia-sia.
Gelap... gelap... Aku takut...
Panas ruangan itu membuatku kelelahan dan berhenti menggedor. Aku terduduk di sudut ruangan, kemudian menutup mataku.
Saat kembali membukanya, rasa lapar, haus, menyergapku berhari-hari hingga pada titik tidak sanggup lagi bergerak bahkan hanya satu jari pun. Entah sudah berapa lama aku berada disini. Kenapa tidak ada orang yang mencariku? Para guru? Pengawas asrama? Kenapa tidak ada yang mencariku?
Mataku terasa berat sekali.
Lalu pintu mendadak di buka dengan sentakan keras. Figur seseorang bertubuh besar menghalangi cahaya yang menerobos masuk ke dalam ruangan yang terlalu sering di selimuti kegelapan.
Figure itu sekarang di depanku, di tepi tempat tidur dan sedang mengguncang tubuhku keras agar aku bangun. Senyumnya semakin lebar dan lebar seperti Joker saat dia melihat mataku terbuka.
Isabella aku punya hadiah untukmu. Katanya perlahan agar aku bisa membaca gerakan bibirnya. Rambut pendek ala tentara milik laki-laki yang ku kenal sebagai Tyaga itu merogoh kantung celananya dan menunjukkan kepalan tangannya padaku.
Kau pasti suka. Perlahan dia membuka kepalan tangannya. Di dalam sana aku mengenal benda pipih yang di dalam mimpiku di hancurkan oleh Helena. Benda itu sekarang kusam dan tidak mulus lagi seperti yang dulu ku pakai , walaupun bentuknya masih sama persis. Berbulan-bulan aku hidup tanpa suara dan sekarang saat melihat Hearing-aid lagi aku merasa tidak percaya.
Ayo pakailah! Dia mendorong-dorong benda itu ke tanganku. Ku ambil benda itu dan ku pakai di telingaku tanpa mampu membendung senyum."Apa... apa berfungsi? Kau bisa mendengarku Isabella? Kau suka?" Tanya Tyaga menangkup wajahku di kedua tangannya yang besar dan kasar saat melihat senyum dariku. Kepalaku kemudian mengadah dari tangannya untuk melihat wajah pria itu. Mata Tyaga yang selalu terlihat seperti seseorang dalam pengaruh dopping, dengan mata membesar, keringat di dahinya, dan senyum yang terlalu lebar.
Aku mengangguk. "Aku bisa mendengarmu." Kataku sumringah, "Dimana kau mendapat ini?"
Tyaga tertawa lepas, "Aku senang!! Aku senang kau bisa mendengar lagi sekarang. Aku... aku mengambilnya waktu menemukanmu. Butuh waktu berbulan-bulan agar bisa membenarkannya." Tyaga bicara tanpa jeda. Matanya selalu melebar, suaranya juga selalu terdengar terlalu beremosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Wall (Behind The Wall Trilogy #1)
Ciencia FicciónCover By @an-apocalypse Bayangkan, dengan keadaan survivor di luar dinding yang mulai kehilangan rasa kemanusiaannya. Dan sanggup membunuh hanya demi sebotol air, rasanya hampir mustahil untuk gadis 17 tahun yang tuli, lemah dan penakut sepertiku un...