Karya : Nadhira
---
Suara piring yang jatuh ke lantai membuatku sedikit terkejut. Namun, aku sudah biasa mendengarnya. Hampir setiap hari aku mendengarnya. Aku bahkan tahu bahwa piring itu terpaksa dijatuhkan.
"Satu ... dua ... tiga...," gumamku. Tak perlu waktu lama aku sudah mendengar suara pecahan barang lainnya.
"ARGH!" samar-samar kudengar pekikan putus asa itu.
Orang yang baru saja memekik adalah ayahku. Ayahku adalah seorang pengusaha besar yang usahanya begitu maju dan terkenal baik dan ramah. Namun, semenjak Bunda meninggal beberapa bulan lalu, Ayah menjadi sosok yang temperamental. Perlahan usahanya mulai tidak terurus. Ayah sama sekali tidak bisa tersentuh jika emosinya sedang bergejolak.
Suara benda yang dilempar makin terdengar dari kamarku. Aku yang sedang duduk di atas tempat tidur langsung berjalan keluar dari kamar. Aku berjalan menghampiri Ayah yang sedang berada di puncak emosinya.
"Yah, Bunda ga suka kekerasan, lho. Kata Bunda, kita harus menghargai barang walaupun kita lagi marah. Liat deh, Yah. Ruang tengahnya jadi berantakan banget," ucapku dari jarak yang cukup jauh. Seperti menasihati anak kecil? Kurasa juga begitu, tetapi Ayah hanya akan mendengar jika kuberitahu seperti tadi.
Ayah perlahan tersadar dari amukannya. Namun, tiba-tiba ia mengambil sebuah vas bunga dari lemari dan melemparkannya padaku. Aku yang sudah tahu hal ini akan terjadi langsung menghindar sehingga vas tersebut membentur dinding.
"Maafin Ayah," lirih Ayah sambil menunduk.
Aku tersenyum. Aku tahu Ayah hanya terbawa emosi karena teringat Bunda. Aku tahu Ayah sebetulnya baik. Aku tahu Ayah hanya masih belum menerima perginya Bunda dari dunia.
Langsung kuhampiri laki-laki paruh baya tersebut dan memeluknya dengan erat. Sebelumnya aku sudah memastikan jika tangah Ayah benar-benar kosong dari benda tajam. Tak perlu menunggu tangan hangat Ayah melingkar di tubuhku.
"Ayah harus janji sama Rara, ya. Ayah ga boleh ngamuk kaya tadi lagi. Ayah juga harus nerima kepergian Bunda. Rara ga nuntut biar Ayah cepet nerima kepergian Bunda, Rara cuma mau Ayah lebih mengontrol emosi. Rara mau liat Ayah jadi pengusaha kaya dulu lagi. Rara mau liat Ayah yang gagah seperti dulu." Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Rasanya sangat nyaman, membuatku terbang melayang ke masa kecilku. Pundak itu yang dulu menjadi tempat dudukku saat aku ingin melihat dari ketinggian. Pundak itu pula yang menjadi alas kepalaku di saat aku tidur.
"Rara, maafin Ayah," lirihnya untuk mengatakan hal yang sama.
Aku menganggukkan kepala. Aku tahu ada nada penyesalan di sana. Aku melepas pelukan itu dan mengacungkan jari kelingkingku ke depan dadanya. Dengan cepat ia menautkan jari kami.
YOU ARE READING
Games : Drabble
De TodoHanya sekumpulan drabble yang dibuat oleh anak NWAC dan SBNWAC. Kepo? baca aja ya guys ... jangan lupa vote dan komentar nya, wkwk .... Drabble: Terdiri dari 100-200 kata. Meskipun tidak tepat berjumlah 100-200 kata, yang penting drabble itu san...