13. Awal yang berakhir B

20.1K 1.3K 16
                                    

...

Bolehlah aku bermunajat kala sebuah jiwa tak ubahnya seperti batu karang
Bolehlah aku berkasih denganNya kala sebuah hati masih berkhianat
Bolehlah aku berkhalwat padaNya kala tutur ini tak henti memuja makhlukNya
dan bolehlah aku tak henti meminta agar dilabuhkan sebuah hati ini pada daratan terindah.

tak apa bila mereka menyebutku lupa daratan. asal mereka tak menggunjing daratanku

aku penat..
penat terombang ambing dalam genangan biru meluas
aku muak..
muak berdiam saja kala ombak menimpaku dengan kejam

tapi aku diam..
aku diam, ketika sang ombak pergi dengan tahu diri
aku diam, ketika aku merindukan terjangannya
aku diam, ketika aku menyesal tatkala rindu itu berubah wujud bak pisau belati. menusuk.

dan berjanjilah aku,
kelak ombak itu datang lagi menemuiku. tak ada harap untuk ia bisa menerjangku kembali.
karena saat itu, Sang Agung maha Besar telah membawa ku bersama arus menuju daratan terindah.
Dan berjanjilah aku,
untuk menancapkan kaki kokoh ini pada hamparan pasir meluas tanpa batas. menikmati atmosfernya yang indah.

bercumbu dengannya di atas naungan Sang Illahi

Abidzar Ahda Prama-

Idzar menutup buku tebal berwarna hitam dengan bahan kulit pada bagian cover. buku itu pemberian Aufa sewaktu mereka bertemu menghadiri seminar ilmu alam dari salah satu event di perguruan tinggi ternama. karena terlalu lama disimpan, buku berukuran 19x12 itu hampir berdebu.
disaat seperti ini, tiba tiba saja idzar ingin mencoret coret sesuatu. dan terpampanglah dalam otaknya buku itu. rangkaian kata kata ia susun menjadi sebuah puisi yang menurutnya hanya dirinya dan Tuhan lah yang tahu.

tangannya hendak menulis rangkaian lagi pada halaman berikutnya.

kau tahu apa yang lebih pahit selain kejujuran?

...

kenyataan..

pernah mendengar seseorang yang ingin berlari dari kenyataan?

...

tiba tiba tangan itu berhenti. bolpoint ditangannya menancap pada lembaran seolah tak ingin menari lagi di atasnya.
sama seperti jiwanya yang berdiam statis pada satu objek.

selagi diam, beberapa inti otaknya berpetualang menemui kembali peristiwa yang baru baru ini dilewatinya bersama luka menganga. Idzar mengingat sebuah wajah indah menatapnya lewat celah dinding. ia menyempatkan diri menatap mata indah itu ketika pandangannya sedang terunduk. kala itu ia rapuh. ia masih ingin mengelarkan lontaran lontaran teguh untuk meyakinkan ayahnya bahwa niat yang tumbuh dalam dirinya tertanam oleh tanah subur bernama ketulusan. dan tatapan singkat itu seperti menyadarkannya dari lamunan omong kosong. seolah mereka berkata 'sudahlah.. berhenti mengharapkanku'
dan saat itu juga Idzar mengawali sesuatu yang seharusnya belum berakhir namun pupus di tengah jalan. apa ini yang disebut kalah sebelum berperang?

Tuhan sedang menjalankan skenarioNya. maka dari itu ia cukup menjadi pemain terbaikNya saja. ikuti saja alur cerita yang dibuat. maka akan mengarah pada kebaikan yang abadi. yang abadi itu selalu indah, kan?

Idzar memutar mutar cincin emas ditangannya. memandangi dari berbagai sudut. nyatanya benda itu memang tidak memiliki sudut. hanya gerakan abstrak untuk menyibukan diri saja. hingga ia menemukan selembar kertas putih mencuat keluar dari celah pintu kamar. sejak kapan kertas itu berada disana? Idzar menarik kertas tersebut lalu membaca dua baris kalimat tertulis disana

Cahaya bertasbihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang