S E B E L A S

407 189 66
                                    

A/N: Sebenarnya gue mau up chapter ini pas Valentine karena chapter ini agak bucheen, tapi apa daya minggu ini tugas kuliah gue numpuk sekali jadi nggak sempat. Yaudah, walau telat H+3, semoga tetap enjoy! Happy reading!

🎭🦋

TANPA Echa ketahui, kini Felicio sedang mengantar Felicity pulang. Dan keduanya sedang mengalami perdebatan. Hal ini sangat tumben terjadi, karena biasanya sepasang anak kembar itu sangat rukun.          

"Udah setahun terakhir ini lo berubah."

Felicio melirik adik kembarnya. "Benarkah?" tanyanya. Kakinya menginjak rem saat melihat lampu merah menyala di depannya.

"Yup. Jangan pura-pura bodoh." Felicity mengamati pemandangan di balik jendela yang ada di sebelahnya dengan tangan terlipat rapi di dada. "Lo, Astrid, dan Echa, kalian semua berubah."

"Kalo gitu, tolong instropeksi diri gue kalau gue emang berubah," Tangan Felicio terulur untuk mengusap pelan rambut adik kembarnya itu. "Tolong komplain, jangan diam dan marah sama gue kayak gini. How am I supposed to be a good big brother, kalau lo sendiri nggak bilang ke gue?"

Felicity mengangkat bahu. "Bukankah kita biasanya saling tahu tanpa harus memberitahu? Gue benar-benar takjub lo nggak pernah merasa kalau sudah setahun ini gue sangat kesepian dan sangat membutuhkan kehadiran lo di sisi gue. Ya ampun, Felicio Revano, lo masih kakak kembar gue, atau nggak sih?"

Felicio melotot mendengar ucapan adiknya itu. "Felicity Revina!" serunya kaget. Saking kagetnya ia sampai mengucapkan nama adik kembarnya dengan lengkap. "Bisa-bisanya lo ngomong gitu! Kita saudara kembar, Felicity! Apapun yang terjadi tali persaudaraan kita nggak akan putus!"

Felicity tertawa sinis. Matanya masih saja tidak mau menatap saudara kembarnya itu. "Oh, iya? Lo bisa ngomong gitu sekarang, tapi pada realitanya lo sekarang lebih cocok menjadi kakaknya Echa, iya kan?" Felicity diam sejenak. "Lo selalu bersama Echa. Lo tau nggak, kalau setiap jam istirahat gue selalu nungguin lo di kelas kayak orang bego? Nggak tahu kan?" Ucapan Felicity membuat Felicio terkejut. "Dan pada akhirnya, setiap gue ke kelas IPA 3 untuk mencari lo, gue cuma ketemu sama Rey. Dan Rey bilang lo udah lari ke kelas sebelas buat makan sama Echa. Pagi-pagi juga. Waktu gue bangun, lo udah nggak ada di rumah, hilang entah kemana. Dan waktu gue pulang sekolah, lo juga tetap nggak ada. Dan lo sangat sering baru pulang tengah malam. Sebucin itu lo sama Echa, sampai hampir dua puluh empat jam lo sama dia, sampe-sampe gak ada waktu buat adik perempuan lo sendiri?"

Felicio tertegun. Ucapan pedas Felicity membuatnya sadar bahwa ia sudah begitu lama sibuk tanpa mempedulikan kondisi Sang Adik. Padahal, Sang Adik sudah seharusnya ia jaga seperti ia menjaga Echa. Felicity, kan, satu-satunya saudari yang ia punya.

"Gue benar-benar nggak ngerti sama jalan pikir lo," Felicity rupanya belum selesai. "Lo tahu kan, Ibu meninggal karena kelalaian Ayah sendiri? Ayah terlalu sibuk sama dunianya, sampai-sampai Ibu terlepas dari pengawasannya dan akhirnya meninggal. Lo mau, melakukan kesalahan yang sama dengan Ayah? Terlalu sibuk dengan dunia lo, mengabaikan gue, lalu akhirnya lo terpuruk seperti Ayah? Lo liat sendiri sekarang, Ayah kayak apa! Terserah sih, kalau lo mau berakhir kayak Ay—"          

Felicio menghela napas panjang. "Cukup, Felice. Gue paham."

Akhirnya kedua bola mata Felicity mau menatapnya. "Kalo lo paham, berarti sekarang lo ada niatan berubah? Lo ada niatan pulang?"

Lagi-lagi Felicio menghela napas panjang. "Ya, tapi nggak sekarang."

Kini ganti Felicity yang tertegun. "Maksud lo?"

Décembre ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang