D U A ~ B E L A S

400 172 249
                                    

HARI sudah mulai terang ketika Felicio membuka matanya. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit karena tadi malam ia tidur di sofa yang disediakan oleh rumah sakit untuk keluarga pasien. Rasanya tubuhnya tak hanya sakit karena tempat tidurnya yang tidak nyaman, tapi juga karena telepon Astrid tadi malam. Sambil menggaruk rambutnya, cowok itu melirik ke arah tempat tidur. Dilihatnya Echa masih memejamkan matanya, warna pipinya terlihat begitu pink dan wajah tidurnya sangat cantik.

Mau tidur ataupun bangun, Echa memang tidak pernah jelek baginya.

Felicio menghampiri gadis itu. Dengan lembut cowok itu mengusap pelan rambut gadis itu, berhati-hati jangan sampai gadis itu terjaga dari tidurnya. Semalam ia sibuk memikirkan apa yang harus ia beritahu pada Echa soal Felicity. Ditambah lagi masalah ini ternyata tidak se-simple kelihatannya karena Felicity ternyata...

Ponsel Felicio bergetar. Ternyata ada satu notifikasi masuk.

Astrid

Jangan lupa ke sekolah hari ini. Diskusi di tempat biasa. Ntar gw ke tempat Echa dulu.

Felicio mengangguk, meski ia tahu Astrid tidak tahu bahwa ia baru saja mengiyakan ucapannya tanpa suara. Ia kini sedang dilema. Astrid dan Arion jelas akan ada di sekolah. Lalu kemarin, Felicio sempat mendengar Felicity ingin menjaga Echa. Tapi.. mengingat situasi semalam, Felicio jadi tidak yakin. Felicity begitu marah, rasanya mustahil membayangkan gadis itu mau menjaga Echa.

Argh! Felicio mengacak rambutnya, benar-benar bingung luar biasa. Ia tidak percaya sedikitpun adik kembarnya adalah dalang dari orang-orang yang meneror Echa. Dari mana? Mustahil Felicity mengetahui hal tersebut. Dari ucapannya semalam, Felicio menarik kesimpulan kalau Felicity sama sekali tidak tahu apa-apa soal Echa. Bagaimana bisa gadis itu tiba-tiba terlibat? Tidak ada satupun orang yang mengenal Felicity sebaik dirinya. Felicio sembilan puluh sembilan persen yakin, Astrid salah lihat.

"Bang Cio... mukamu kayak orang gila."

Felicio mendelik ketika mendengar suara itu. Seketika lamunannya buyar. Cowok itu memalingkan pandangannya ke tempat tidur, dan dilihatnya Echa tampak tersenyum samar padanya dari tempat tidur. Rupanya gadis itu sudah bangun.

Felicio berusaha menampilkan senyumnya yang terbaik. "Maaf. Gue lagi ada sedikit masalah."

Echa mengangguk. Matanya bergerak menatap Felicio prihatin. "Masih kepikiran tragedi kemarin?"

"Ya. Dan gue lagi agak bingung soal siapa yang jagain lo hari ini. Astrid suruh gue ke sekolah."

"Ummm, kebetulan Kak Felicity dan Kak Rey janji mau jaga aku bareng, sih."

Felicio tertegun, tapi tak ayal ia merasa lega juga. "Beneran? Felicity atau Rey ada ngomong lagi gak ke kamu setelah kemarin?"

"Ya nggak ada, HPku yang biasa aku pakai pas di sekolah kan hilang," Echa mengangkat bahunya. "Tapi serius, dia beneran ngomong gitu kemarin."

Tak ayal Felicio-pun tersenyum lega mendengar kedewasaan adik kembarnya. Hal ini membuatnya yakin bahwa Astrid pasti menemukan kekeliruan.

"Baiklah, kalau gitu gue mandi dulu, abis itu ke sekolah. Nanti begitu pulang sekolah, gue jaga elo lagi," Felicio berdiri dari tempatnya duduk.

Echa mengangguk, meski wajahnya terlihat sedikit keberatan. "Tapi jangan telat, ya?" tanyanya sambil menundukkan wajahnya. "Soalnya aku agak takut gara-gara kejadian kemarin..." gumamnya pelan.

Felicio tersenyum lembut. "Tenang aja, gue bakal pulang secepatnya. Lagipula, Felicity dan Rey jelas bolos sekolah hari ini. Mereka pasti bisa nungguin gue sampe gue pulang," jawab Felicio. Tangannya terulur, lalu mengacak pelan rambut coklat kopi Echa. "Nggak usah takut, lo aman hari ini."

Décembre ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang