Kesendirian

5.9K 391 30
                                    

1845, Bridgehills Street 7-24H, London, Inggris

Seorang anak lelaki berusia 15 tahunan nampak menuruni tangga perlahan. Ia mengancingkan kancing terakhir di rompi coklatnya, kemudian menghampiri keluarganya.

"Pagi, Abe." sapa seorang wanita yang adalah ibu dari anak itu.

Abraham, anak itu, mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia duduk lalu menarik sebuah piring berisi roti sandwich lengkap dan juga segelas susu yang disodorkan ibu padanya.

"Hari ini kau tidak ada kegiatan kan? Mau ikut ayah ke rumah Tn. Owen?" tanya ayahnya di sela sarapan.

Abraham menggelengkan kepalanya dan mulai menggigit sandwichnya.

***

Thomas Bloodwell adalah seorang anggota kepolisian kota London. Ia adalah salah satu detektif yang menyelidiki kasus pembunuhan 15 tahun terakhir dibawah pimpinan Deputi Deph August. Ia dan Owen Campbell adalah rekan kerja selama menyelidiki kasus ini. Jadi secara tidak langsung mereka saling mengunjungi kediaman satu sama lain selama 15 tahun terakhir untuk membicarakan perkembangan kasus ini. Thomas tinggal bersama keluarga kecilnya, Lucy—istrinya dan Abraham.

"Aku pergi dulu." ucap Thomas sebelum akhirnya meraih jas abu-abunya dan pergi.

Abraham mengintip dari balik sofa. Ia menggertakkan giginya, tak lama ia setengah berlari menuju kamarnya. Klek. Pintu terkunci. Abraham menghempaskan tubuhnya ke kasur.

Tiba-tiba saja teriakan ibu Abraham mengejutkannya. Ia berjingkat lalu terduduk.

"Abe, ibu akan pergi ke rumah Ny. Wattson! Makan siangnya di dapur!"

Perlahan suara ibu menghilang seiring terdengarnya pintu utama rumah yang tertutup. Abraham menajamkan pendengarannya hingga suasana di rumah yang lumayan menyerupai kastil itu menjadi hening. Ia merebahkan tubuhnya lagi.

Ny. Wattson adalah pemilik toko pakaian di seberang rumahnya. Beliau juga membuka kursus menjahit. Lucy sering mengunjungi rumah wanita paruh baya itu meskipun tidak mengikuti kursus membosankan tersebut. Pernah Lucy seharian pergi ke sana, dan alhasil Thomas menyemprotnya begitu tiba di rumah. Abraham sudah terbiasa dengan hal itu. Orang tuanya punya kesibukan masing-masing dan ia juga tidak tertarik dengan hal-hal yang sering dilakukan anak seusianya. Ia lebih suka menyendiri di rumahnya. Lebih tepatnya di kamarnya yang sudah mirip seperti perpustakaan kota. Rak buku berjejer dan koleksi buku-buku lengkap di sana. Jika Abraham memiliki lebih banyak waktu luang pasti ia hanya akan keluar kamar untuk buang air dan makan.

Abraham ingat Ny. Lasthold memberi pekerjaan rumah kemarin. Guru berkacamata yang super menyebalkan itu tidak pernah absen memberi tugas. Mau tidak mau Abraham harus mengerjakannya kalau tidak ingin bekas pukulan rotan menghiasi kulit putih pucatnya. Ia pun bangkit dan beralih ke meja belajarnya. Mata hijaunya mencari sebuah buku diantara tumpukan buku disana. Itu dia, buku matematika. Ia duduk dan mulai mengerjakan.

Ah, soal persamaan aljabar. Ini mudah. Batin Abraham.

Hanya perlu beberapa menit mengerjakan ia sudah kembali meletakkan pensilnya dan berbaring. Hari yang membosankan. Pikirnya. Ia duduk, lalu menghampiri jendela besar di sisi kiri kasurnya. Ia menyeka debu yang tak seberapa jumlahnya itu dari kacanya, menyibakkan gorden putihnya sedikit lalu menatap keluar. Terlihat seorang gadis yang sedang diganggu oleh beberapa anak laki-laki. Oh tunggu, gadis itu Anna. Tetangganya.





Abraham POV

Cih, mau apa mereka? Apa tidak ada kegiatan lain selain mengganggu anak orang? Batinku. Kupandangi mereka dengan tajam. Tanpa kusadari aku menggertakkan gigi-gigiku saat anak-anak itu mendorong Anna. Entah apa yang mereka bicarakan, kelihatannya Anna menangis. Gadis yang berusia 5 tahun lebih muda dariku itu menyibakkan rambut pirang panjangnya dan membersihkan gaun putihnya sambil menangis. Ya ampun, apa-apaan mereka. Kuputuskan untuk pergi keluar dan 'mengusir' mereka.

"Menangislah, penyihir!"

"Aku bukan penyihir!!"

Aku menengok dari samping pintu rumahku, seakan berdiri seperti patung menatap ke arah mereka dengan wajah datar.

"Hei, lihat!" salah seorang dari mereka menunjukku.

Semuanya menolehkan pandangan dan mendatangiku.

"Abraham Bloodwell, kau pacarnya? Gadis ini, dia penyihir!" ucap salah satu dari mereka padaku, Lucas Brown, yang hanya kubalas dengan tatapan tak berarti.

"Kenapa lihat-lihat?! Kau mau memukul kami?! Ayo pukul kami! Dasar anak aneh!" tukas yang lainnya, Jeremy Campbell. Yup. Anak dari Tn. Owen yang sangat sangat sangat menyebalkan dan pengganggu.

Enyahlah. Kupandangi mereka satu persatu. Mereka balas memandangku. Kenapa di hari Minggu seperti ini ada saja perusuh yang menghalangi pemandanganku?

"Aku tidak suka caramu memandangku!" Lucas mendorong pundakku. Aku tersentak ke belakang dan hampir jatuh.

Aku tidak suka caramu memperlakukan orang lain, idiot. Kutatap matanya tajam. Kami pun beradu pandang secara tidak sadar sampai Jeremy menengahi. "Sudahlah, dia tidak berguna. Ayo pergi." ucapnya. Lucas mendorongku sekali lagi lalu mereka pergi.

Apa aku tidak salah dengar? Siapa yang tidak berguna disini? Anna terlihat baik-baik saja meskipun masih menangis. Aku menoleh padanya sekilas. Dia terlihat memandangku penuh harap, mungkin ingin berterima kasih tapi tidak tahu bagaimana mengucapkannya. Kutatap lekat mata abu-abunya itu, dan dia mengalihkan pandangan. Aku memasukkan kedua tanganku di saku celana, menunggunya untuk pergi sebelum aku masuk. Beberapa saat kemudian gadis itu pergi begitu saja.

***

Abraham menyendok buburnya dan melahapnya. Pupil matanya berpindah secara teratur saat mencerna kata demi kata dari buku After Life di hadapannya. Tak lupa sebuah piringan lagu yang diputar pelan mengisi kekosongan ruangan itu. Lengkap sudah hidupnya.

Ia melirik jam yang menunjukkan pukul 4. Ia menghela napas dan meregangkan tubuhnya. Aku perlu mandi. Segera ia bangkit dan pergi ke kamar mandi yang letaknya cukup strategis dari tempatnya berada.

Air membasahi tubuh Abraham dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia teringat kejadian tadi pagi saat Lucas mengganggu Anna. Dan apa maksudnya penyihir? Ia bisa saja melaporkan kejadian ini ke Tn. Owen, tentu saja melalui ayahnya. Tapi apakah mungkin ayahnya akan mempercayainya, seorang anak berusia 15 tahun yang tidak ada kerjaan dan di rumah sendirian. Ayahnya sudah kembali saat Abraham selesai mandi. Ia menutupi rambut basahnya dengan handuk sambil berjalan pelan melalui ayahnya yang terlihat mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tasnya.

"Ibumu kemana?" tanya Thomas yang tentu saja tidak akan dijawab oleh Abraham.

"Ke rumah Ny. Wattson?" sambungnya menerka.

Abraham mengangguk singkat lalu mempercepat langkah menuju kamarnya yang entah sejak kapan pintunya terbuka.

***

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang