Semula

1.1K 151 2
                                    

***

Hari pertama Abraham sebagai partner kerja Jeremy. Pria itu sama sekali tidak berubah. Abraham meneguk kopi paginya di ruangannya di kantor. Setumpuk berkas Jack the ripper di hadapannya. Ia membolak-balik halaman demi halaman.

"Selamat pagi, Detektif." sapa seorang staff. Abraham meliriknya dan menggangguk singkat.

"Ada undangan untukmu." staff itu menyodorkan sebuah amplop dengan stampel kepolisian pada Abraham.

"Undangan apa?" tanyanya.

"Anda diminta menghadiri persidangan terkait kasus McKay." ujar wanita itu. Albert McKay, seorang guru yang telah membunuh beberapa belas muridnya.

Abraham melirik wanita itu lagi. Wanita itu menggidikkan bahunya. "Aku sendiri?"

"Tentu saja bersama Detektif Campbell."

"Oh. Baiklah."

Abraham membuka surat itu setelah staff itu pergi. Disitu tertulis persidangannya dimulai besok lusa pukul 9.10 pagi. Ya ampun. Dan dimana Campbell bedebah itu berada sekarang?

Abraham cuek. Ia meletakkan surat itu di laci, lalu kembali pada aktivitasnya tadi.

"Bagaimana, kawan? Dapat sesuatu tentang Jack?" sebuah suara membuat Abraham lagi-lagi tidak fokus.

"Lebih baik kau bantu aku menghabiskan seluruh lembaran ini, Jeremy, daripada menanyakannya." sahut Abraham. Ia menunjuk tumpukan berkas di mejanya.

Jeremy terkekeh kecil, lalu meraih beberapa lembar berkas itu. Ia mengernyitkan dahinya saat membaca headline berkas tersebut.

Kasus Pembunuhan Menjamur, S. Bridgehills Jadi Sorotan

London (8/60), kasus pembunuh misterius yang dikenal dengan nama Jack the Ripper mulai terdengar lagi. Setelah beberapa tahun terakhir tak terdengar, kini muncul rumor bahwa pelaku "bermarkas" di S. Bridgehills. Alamat lengkapnya tak diketahui, namun banyak masyarakat yang beranggapan seperti itu.

Bridgehills? Jeremy berpikir keras. Jadi kasus ini muncul lagi, ya? Batinnya.

"Sejak kapan ada kasus lagi?" tanya Jeremy pada Abraham yang sedang mengamati berkas-berkas di tangannya dengan serius.

Abraham menggidikkan bahunya. "Sekitar seminggu yang lalu ada kasus pembunuhan di dekat sini, namun sepertinya bukan Jack." ujarnya. "Warga hanya melebih-lebihkannya."

"Kalau memang itu Jack, bagaimana?"

"Apa motivasinya untuk memulai kasus lagi?"

"Menurutmu Jack adalah orang yang sama?"

"Bisa saja. Aku tak yakin."

"Kau sudah punya tersangka?"

Abraham menggeleng. Sejenak ia berpikir, baru kali ini ia memiliki topik percakapan yang serius dengan Jeremy.

"Ah, ada undangan ke pengadilan besok lusa." Abraham menarik laci mejanya lalu meraih sebuah amplop dan memberikannya pada Jeremy.

"Untukku?" Jeremy meraih amplop tersebut dan membukanya.

"Dan aku." sahut Abraham.

"Albert McKay," Jeremy menopang dagunya. "Sepertinya aku pernah dengar."

"Belakangan McKay kondang sekali. Banyak warga yang bilang padaku bahwa dia Jack." ujar Abraham tanpa melirik Jeremy. Ia sibuk mencoreti berkas di tangannya.

"Kita lihat saja besok."

***

Keesokan lusanya
Pengadilan Negeri London, White House
Pukul sembilan lebih sepuluh pagi

"McKay hanyalah McKay. Dia bukan Jack the ripper seperti yang dikatakan warga."

"Tapi jelas bekas sayatannya tak jauh berbeda dari Jack!"

"Tak jauh berbeda bukan berarti dialah Jack, kan?"

"Pengacara Wingston, lain kali kau harus membandingkan sendiri sayatan klienmu dengan sayatan di tubuh korban Jack."

Abraham dan Jeremy membisu di tempatnya duduk. Hanya bola mata mereka yang bergerak mengikuti pengacara yang sedang berdebat di depan sana. Abraham melirik Jeremy yang sedang sibuk menggoreskan pulpennya.

Albert McKay membunuh lima belas siswanya pada hari dan tanggal yang berpola.
Pengacara Schmidt berasumsi jika sayatan McKay pada korbannya tak jauh beda dari Jack.
Pengacara Wingston menolak asumsi tersebut.

Begitu kira-kira tulisnya yang dapat dilihat oleh Abraham.

"Maaf, Yang Mulia!" Abraham mengangkat tangannya. Semua mata tertuju padanya, termasuk Jeremy yang menatapnya terkejut.

"Ya, Detektif Bloodwell?" sahut Hakim Porton.

"Jika saya boleh menyanggah asumsi Tn. Schmidt," ujarnya.

"Silakan, Detektif." sahut Schmidt menyilakan.

"Jack tidak dalam pengaruh alkohol saat sedang membunuh." lanjut Abraham.

"Apa asumsimu juga bahwa Jack adalah orang yang sama, Detektif?" balas Hk. Porton.

"Tidak, Yang Mulia. Tetapi bisa dipastikan pelaku adalah dalam rentan usia yang sama." jawab Abraham.

"Lalu apakah dari pihak kepolisian sudah memiliki sketsa pelaku?"

"Kebanyakan kasus dilakukan saat korban sedang sendirian dan hampir jarang ada saksi mata."

"Jadi apa kau juga akan menolak asumsi Tn. Schmidt bahwa McKay baik Jack yang terdahulu membunuh dibawah pengaruh obat ataupun alkohol?"

Abraham diam, namun wajahnya tetap tenang. Ia sadar ia sedang dipojokkan sedari tadi. Ia menggertakkan giginya.

"Maaf, Yang Mulia." Jeremy menyela dengan cepat. "Rekan saya hanya menyampaikan asumsinya saja. Asumsi kami, pihak kepolisian. Ia tidak menolak asumsi siapapun di sini. Terima kasih." ujarnya.

"Dengan senang hati, Detektif Campbell." Hk. Porton kembali menyilakan para pengacara setelah Jeremy selesai berasumsi.

Abraham menghela napas berat. Ia menggertakkan giginya, lagi. Sikap Jeremy membuatnya seolah terlihat bodoh dan pengecut. Ia bisa mengatasinya sendiri, sungguh.

Jeremy melirik Abraham yang sama sekali tidak meliriknya, atau bahkan menganggapnya ada. Ia menghela napas, "Ayo segera kembali ke kantor."

Ia menepuk lengan Abraham sambil beranjak. "Aku mau cari angin."

Jeremy menatap lekat pada Abraham sebelum akhirnya pergi. Ia heran, sejak tadi Abraham tidak meliriknya sama sekali. Bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak. Padahal ia sudah membantunya. Masa bodoh, dasar orang aneh.

***

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang