Piece of Peace

893 115 1
                                    

Seminggu setelah berakhirnya masa tahanan Thomas.

Banyak hal terjadi. Kasus pembunuhan seorang gadis bernama Emily yang menyeret dirinya ke tangan rekan kerja anaknya sendiri membuat Thomas kewalahan. Pasalnya hingga saat ini pelaku sebenarnya masih belum diketahui. Demikian dengan kasus Jack. Tak ada peningkatan informasi yang didapat. Abraham dan Jeremy, keduanya mendapat cuti dari Deputi karena memang mencari sesuatu yang tidak ingin ditemukan hanyalah buang-buang waktu. Terlebih saat Deputi tahu Abraham memiliki rencana untuk segera menikah dengan Anna.

"Baiklah, terimakasih."

Abraham menutup teleponnya. Barusan ia menelpon seorang pendeta dari Gereja St. Michael yang kebetulan adalah kenalan ayahnya. Ia menjelaskan tentang kapan acara pernikahannya akan dilaksanakan, termasuk kasus yang ditanganinya yang membuatnya hampir gila—dan akhirnya memutuskan untuk menikah saja. Pria itu melirik jam dinding, menunjukkan pukul 10 malam. Ugh, sangat tidak sopan menelpon seseorang malam-malam begini.

"Abe, kau mau teh jahe?" ujar seseorang mengejutkannya. Abraham menoleh.

"Terima kasih." jawabnya bermaksud menolak.

Dilihatnya Anna yang mengetukkan jarinya di tepian dinding, nampak ingin mengatakan sesuatu yang sedang ia pikirkan.

"Kenapa lagi?" tanya Abraham. Ia mendekati Anna.

"Oh, ya. Tadi kutemukan pisau lipat di laci mejamu." sahut Anna. "Sejak kapan kau punya itu?"

Abraham terdiam setengah mendelik. "Di laci meja? Itu memang milikku dan sudah beberapa hari aku mencarinya. Ternyata disitu. Terima kasih." ucapnya lalu segera pergi.

Anna menatapnya. Aneh. Sejak kapan Abe jadi pelupa?

Raut wajah Abraham mengeras selagi berjalan menuju kamarnya. Ia tidak bergegas, namun jelas terlihat emosi yang menggebukan dirinya malam itu.

***

Asap mengepul dari cerutu milik Jeremy. Abraham terheran, sejak kapan ia merokok?

Pagi itu mendung dan tak seperti biasanya. Anak-anak pergi ke sekolah dengan payung terlipat di tangannya. Bahkan mungkin membawa jas hujan juga. Melihat mereka membuat Abraham teringat dulu saat ia masih seusia mereka. Terutama saat Jeremy mengganggunya.

"Kau akan menikah?" tanya Jeremy. Abraham mengangguk.

"Wah, kau mendahuluiku, bung."

Ya. Lalu kenapa?

"Apa kau akan mengundang Deputi?"

Abraham mengangguk dan masih diam.

"Bagus."

"Yeah." ucap Abraham akhirnya meskipun hampir tidak terdengar oleh Jeremy.

"Mari berhenti dari kasus Jack sialan ini. Aku lelah." ujar Jeremy.

"Berhenti?" sahut Abraham.

"Maksudku, beralih ke kasus-kasus lain yang lebih ringan. Kau tahu lah, beristirahat."

"Kalau Deputi mengijinkan."

"Akan kubuat Deputi mengijinkan."

"Silakan."

Mereka saling diam. Pagi itu mereka hanya berjalan mengitari St. Bridgehills saja. Cuaca mendung ditambah suasana canggung antara mereka membuat Jeremy merapatkan jaketnya lebih kuat. Entah berapa lama ia dan Abraham sudah saling kenal, jujur saja pria ini aneh dan misterius. Ia tidak tahu ke mana jalan pikirnya. Ia jarang sekali tersenyum padanya, terlebih pada orang lain. Mengerikan.

***

Pada akhir bulan ini, Abraham dan Anna melangsungkan pernikahan mereka di Gereja St. Michael. Suasana disana sangat tenang dan sakral. Hampir tak terdengar suara lain sedikit pun selain Pendeta yang berbicara. Abraham dan Anna menjalankan upacara pernikahan mereka dengan baik hingga akhir.

"You may kiss the bride."

Dengan iringan tepuk tangan yang meriah dari para undangan, acara pagi itu berlangsung dengan aman dan baik. Di barisan paling depan berdiri Thomas dan Lucy, lalu paman dan bibi dari Anna sebagai walinya. Di barisan berikutnya ada Owen, Bella, dan Jeremy. Ada Deputi Deph dan istri serta anaknya, dan juga teman-teman Abraham dari kantor. Sebenarnya mereka tidak pantas disebut teman Abraham. Karena memang mereka tidak kelihatan seperti berteman baik dengan Abraham. Ada juga teman-teman Anna yang tak Abraham kenal. Saudara-saudara dari baik Anna maupun Abraham tak absen dari acara pagi itu.

"Wow! Selamat, partner!" datang Jeremy dan detektif lain yang bergantian menyalami Abraham. Pria itu menyahut jabat tangan mereka diiringi kertak gigi dan tatapan tajam pada tiap-tiap dari mereka.

"Terima kasih." sahutnya.

"Apa kau akan cuti?" tanya Carl. Abraham mengangguk.

"Mungkin tak akan lama. Hanya beberapa hari saja."

"Man, bagaimana jika kita mendapat kerja mendadak dan membutuhkan bantuanmu?" Bibble si botak menepuk pundak Abraham. Ia menoleh.

"Hubungi saja aku. Akan kubantu jika aku bisa." jawabnya.

"Tentu. Buka matamu 24/7."

"Hei, Abe!" seru Yola Trumpson. Abraham menoleh ke sumber suara.

"Ya?"

"Aku sudah mengirimkan hadiah ke rumahmu. Fyi, jangan terkejut saat membukanya."

"Aku juga sudah mengirimkan hadiah untukmu bersamaan dengan Yola." ujar Tracy Wilson. Abraham mengangguk.

"Kalian tidak perlu repot-repot." tuturnya. Abraham menjabat tangan semua yang ada di sana, lalu beralih ke tamu undangan yang lain.

Di ujung ruangan, nampak Deputi Deph sedang bercakap-cakap dengan seorang staff kepolisian yang tidak diundang Abraham. Entah sejak kapan staff itu ada di sini. Ekspresi Deputi nampak gelisah dan khawatir. Sepertinya sesuatu terjadi. Abraham yang melihatnya segera menghampiri mereka.

"Deputi, ada yang salah?" tanyanya langsung pada intinya. Deputi menoleh.

"Abe," Deputi menyalami Abraham dan entah kenapa Abraham menyalaminya balik. "Sekali lagi selamat. Tapi sepertinya kau tidak akan bisa menghabiskan waktumu bersama Anna sekarang ini."

"Maksudmu?" Abraham menatap Deputi dan staff itu bergantian.

"Aku mendapat berita bahwa ada seseorang yang mengaku sebagai Jack."

"Kau serius?"

"Ya. Datanglah ke kantor besok bersama Jeremy. Akan kuberitahu informasi selengkapnya."

Abraham mengangguk sembari menggertakkan giginya. Apa maksudnya ini semua? Apakah Jack itu benar-benar Jack yang asli ataukah hanya jebakan iseng?

***

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang