Irish Bloodwell pt. 2

578 78 0
                                    

1869

"Bagaimana keadaannya?"

Anna menoleh kala sebuah bisikan terdengar. Nampak figur Abraham menyembul dari balik daun pintu. Ia menghela napas, menjawabnya dengan wajah muram. Malam itu mereka terbangun oleh tangisan Irish yang sedang sakit. Sudah beberapa hari ia sakit. Dokter baru saja memberikan obat baru tadi siang. Diagnosanya hanya demam biasa, namun entah mengapa keadaan Irish semakin memburuk. Kemarin Abraham meminta cuti karena menemani Anna menjaga Irish sekaligus Agatha, dan besok ia harus masuk. Banyak pekerjaan yang sudah ia tunda. Dihampirinya Anna, lalu berbisik.

"Mari kembali tidur."

"I can't." genggaman tangan Anna pada Irish tak dilepas.

"Irish akan baik-baik saja. Agatha bisa menjaganya." Abraham meremas bahu Anna, berusaha meminimalkan kekhawatirannya.

Anna melirik sekilas Agatha yang tertidur pulas, lantas mengikuti Abraham kembali untuk beristirahat.

***

Beberapa bulan lalu mereka dikejutkan oleh kabar kematian Tracy yang diduga dibunuh. Kejadiannya malam, sehingga laporan baru sampai di kantor pagi-pagi buta, saat seorang pedagang lewat di TKP. Nah, satu lagi rekan mereka dibunuh. Sebenarnya ada apa ini? Apa semua ini berhubungan? Rasanya tidak. Toh apa peduli mereka—Titus dan Tracy—terhadap kasus yang bukan ada dalam penanganan mereka? Sulit sekali mengidentifikasi pelaku. Tidak ada saksi di sana, tidak ada jejak, tidak ada apapun. Semangat para detektif semakin loyo. Mereka dihantui ketakutan yang perlahan menikam mereka dalam kegelapan, menenggelamkan mereka dalam sesuatu yang tak diketahui.

"Apa semua ini ada hubungannya, antara Titus dan Tracy?" desis Lucas.

Semua yang ada di ruangan itu menoleh.

"Apa mereka pernah menghandle kasus pembunuh berantai?" tanya Jeremy.

"No." Yola dan Lucas menggeleng hampir bersamaan.

"Lalu apa kabar kami yang sudah lama bertegur sapa dengan Jack?" Jeremy mengacak-acak rambutnya. Mendengar kasus utamanya disebut, Abraham menoleh, menghela napas berat.

"Kalian tidak takut?" terdengar suara Carl di ujung ruangan, duduk di sofa tunggal sambil menggenggam batang bekas permen.

"Apa?" sahut Abraham dari tempatnya.

"Jika sesuatu terjadi pada kalian—Abe dan Jeremy, sesuatu yang tak terduga?"

Larry menoleh. "Like, a murder?"

Pandangan mereka beralih pada Larry. Jeremy mengangkat kepalanya.

"Apa maksudmu?"

Larry mengendikkan bahu. "Who knows the future?"

Abraham menautkan alis. Semakin menyebalkan saja pria ini, tak jauh beda dari Lucas Brown.

"Itu kan maksud Carl?" Larry menyela sebelum Jeremy sempat menghampirinya dan melayangkan sebuah tinjuan.

"Calm your mind." Bibble menahan Jeremy yang meledak amarahnya itu. Digiringnya Jeremy kembali ke tempatnya semula. "Kita sudah down. Jangan ada perpecahan, please."

Larry diam, memainkan jemarinya. Sejenak mereka pun terdiam, dibayangi kengerian yang mendadak muncul.

"Lebih baik jangan sampai pulang sendirian. Terlebih untuk Yola, Lucas, dan Larry." tutur Abraham.

"Pembunuhan itu tak terduga, Abe. You knows it." sanggah Jeremy.

Abraham menghela napas. "Setidaknya siang hari tidak sesunyi malam."

Tiba-tiba terdengar isakan seorang wanita. Mereka menoleh ke arah Yola yang membenamkan wajah pada telapak tangannya.

"Ny. Trumpson?" panggil Larry.

"Yola, kau baik-baik saja?" Lucas menyentuh bahu Yola yang bergetar. Wanita itu menggeleng pelan, membuat semua mata tertuju padanya.

Akhirnya Yola menyahut. "Aku tidak mau ada yang terluka lagi. Ini semua sudah cukup berat. Kita tidak bisa kerja maksimal tanpa Titus dan Tracy."

"Kita semua tahu." ucap Larry. "Itu artinya kita harus bekerja lebih keras."

"Um, Abe," panggil Jeremy tiba-tiba. "Kau santai sore ini?"

"Yeah. Why?" sahut Abraham. Seakan mampu bertelepati, ia tahu apa yang dipikirkan Jeremy. "Got any idea?"

"Seems like he has made a comeback." Jeremy beranjak, berlari keluar dari ruangan itu. Abraham mengikutinya.

Carl menautkan alis. "He?"

***

Sore itu pun Jeremy dan Abraham pergi ke rumah sakit. Tadi Jeremy seakan mendapat pencerahan tentang si Jack yang sudah lama tak nampak batang hidungnya itu. Sekali lagi ia telisik laporan autopsi kemudian pergi untuk memeriksa jenazah langsung. Abraham sempat tidak fokus karena pikirannya terbagi antara Irish dan pekerjaan. Saat sedang perjalanan menuju rumah sakit, barulah Abraham mengerti apa yang hendak Jeremy lakukan. Prof. Larry Muller sedang ada di lobi rumah sakit kebetulan, Jeremy langsung menerjangnya sekaligus mengatakan tujuan mereka datang ke sana. Larry mengawal mereka sambil berjalan duluan ke ruang autopsi, sesekali bertanya perihal ide Jeremy yang sialnya kenapa baru muncul selambat ini.

"So cold." Jeremy merapatkan blazernya kala mereka memasuki lemari pendingin. Larry menuntun mereka memasuki sebuah ruangan, dimana nampak tubuh kaku kedua rekan mereka yang membeku.

"Here you go. Silakan. Aku ada di luar kalau kalian butuh. Aku perlu mengurus beberapa dokumen." tutur Larry.

"Terima kasih, Profesor." sahut Abraham. Jeremy sudah lebih dulu mengamati bekas luka Titus dan Tracy yang masih utuh.

"Kau lihat ini?" Jeremy menunjuk bekas luka di leher dan tubuh dua rekannya. Titus dengan satu bekas luka yang diiris dengan rapi, dan Tracy dengan bekas luka sayatan menganga dimana-mana. Kemudian Jeremy mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah foto. Disandingkan foto itu dengan luka di leher Titus.

"Kau lihat? That's him!" bekas luka di foto—yang tidak lain adalah foto korban Jack—dan di leher Titus memiliki ciri sama. "He has return!"

"Kembali?" Abraham menautkan alis. "Memangnya selama ini dia kemana?"

Jeremy mendecak. "Kan sudah lama tak nampak wujudnya, sejak kasus Emily."

"Emily?" Abraham coba mengingat. Juga kasus Emily dimana ayahnya diseret di sana. Menyebalkan. "Aku baru sadar."

"Hell, dude." Jeremy mengantongi kembali foto tersebut. "Kemana saja kau?"

"Maaf, aku sedang tidak fokus hari ini. Irish sakit."

"Belum sembuh? Kenapa lama sekali? Tell my get well soon for her."

"Trims."

***

Sekitar dua jam kemudian Abraham sampai di rumah. Namun keributan menyita perhatiannya. Ia cepat-cepat masuk, mendapati suara tangisan dari semua anggota keluarganya, termasuk Agatha.

"Mom? Dad?" Abraham menautkan alis. "Anna?"

Ia berhenti tepat di depan kamar Irish dan Agatha, dimana menjadi pusat tangis mereka semua. Abraham menatap ke dalam, mencari tahu apa yang terjadi. Anna duduk di tepi kasur, menggendong Irish yang terkulai lemas, seperti tak bernyawa.

Seperti tak bernyawa...

Genggaman Abraham pada tas jinjingnya melemah.

"Irish?" ia berlari menghampiri Anna, berjongkok di sebelahnya.

"She's gone." ujar Anna di tengah tangisnya. "She's gone!!"

Sejenak kalimat itu terngiang di kepala Abraham. Keseimbangannya seakan direnggut, membuatnya terjatuh. Agatha memeluknya, masih menangis. Abraham merengkuh tubuh Agatha kemudian mendekapnya. Pikirannya kosong. Semua ketakutan dan kelelahannya akibat kasus bedebah yang menimpanya dan rekan detektifnya seakan lenyap. Ia mengatur napasnya yang memburu akibat jantungnya mencelus. Tidak ada air mata, hanya mati rasa. Ia tenggelam dalam tangisan mereka, mencari celah untuk menggaet oksigen semampunya.

***

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang