Emily pt. 4

575 73 1
                                    

Abraham POV

Aku sedang melamun entah sejak kapan saat tangisan Agatha menyeruak pikiranku. Aku menoleh, mengintip dari balik kursi dan mendapati Agatha sudah bersama Anna. Sejurus kemudian aku kembali memandang lurus ke jalanan. Jemariku sesekali meraba buku di pangkuanku. Seri ke-7 The Humans, A Candle From The Dark. Sebenarnya semua buku Anonymous sudah selesai kubaca, hanya saja tadi aku teringat sebaris kalimat favoritku dari buku itu.

Adam terbangun. Dirabanya wajah tuanya itu, lantas kedua matanya. Sebuah papan putih terbentang di atas wajahnya. Papan apa itu? Kemudian ia mendengar detik jam dinding. Ia menoleh, mencari di mana ia letakkan jam tuanya. Adam menggerakkan otot matanya perlahan sambil terheran. Tak lama ia segera menjumpai benda berbentuk lingkaran—mungkin—yang ada di dinding. Adam menautkan alis, lalu duduk. Ia menebar pandangan pada seisi ruangan itu. Di mana ia sekarang? Apa ia sudah mati? Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka, menampilkan figur seorang wanita yang langsung Adam kenali dari suaranya.

"Adam?" wanita itu mendekati Adam.

"Eve," sahutnya. "Aku suka warna bajumu."

"Warna baju—apa?" Eve mendelik. "Adam, kau bisa melihat?"

Adam mengedikkan bahu. "Entah. Kupikir aku sudah mati."

"Tidak. Adam, kau bisa melihat!"

Dan lalu Eve, wanita yang selama ini setia menemani Adam di rumahnya, kekasih Adam, menangisi keajaiban yang terjadi pada pria buta itu. Adam sudah buta sejak lahir, tiba-tiba sekarang bisa melihat. Apapun itu yang telah terjadi padanya, bagaikan sebuah lilin dari kegelapan.

"Abe?"

Aku menoleh, spontan menutup bukuku. Kudapati ayah berdiri di balik kursiku.

"Kau sibuk?" tanyanya. Aku menggeleng, lantas berdiri dan mengambil kursi kayu di meja kerjaku untuknya. Kubalik kursiku tadi, kemudian duduk.

"Bagaimana kemarin? Aku belum sempat ke sana." ujarnya.

"Ya, pria itu ada di sana sebelum ayah datang. Dia melihat seseorang yang mencurigakan." sahutku.

"Lalu? Apa pria itu melihat wajahnya?"

"Katanya sedang ia ingat-ingat lagi. Jeremy memintanya segera kembali setelah berhasil mengingatnya."

"Baguslah. Tapi kenapa baru lapor sekarang saat kasusnya sudah ditutup?"

Aku menggeleng. "Jangan tanyakan padaku, Dad. Mungkin pria itu butuh waktu mengumpulkan keberanian."

Ayah tidak menyahut lagi. Aku diam, terhanyut dalam arus pikiranku tiba-tiba. Memang tidak salah jika Jack perlu mengumpulkan keberanian sebelum menghadap ke kantor polisi seorang diri. Dan kurasa ia sudah cukup berani.

"Kalau pria itu kembali, beritahu aku. Ayah perlu berbicara dengannya." tutur ayah setelah lama berdiam diri.

Aku mengangguk. "Aku mau pergi dulu." ujarku.

"Malam-malam begini? Kemana?"

"Aku baru ingat Olympian's Fairy mengeluarkan buku baru."

Olympian's Fairy, penulis favoritku selain Anonymous. Meskipun koleksi bukunya tidak selengkap milik Anonymous, tapi aku rajin mencari informasi tentang karyanya. Ayah hanya ber-oh ria, lalu kami keluar dari kamarku bersama dan berpisah di ruang tengah.

***

Pagi-pagi betul kantor sudah ramai seperti biasa. Staff mondar-mandir dengan tumpukan dokumen di tangannya, dering telpon menyahut antara satu sama lain. Sebuah pemandangan biasa bagi Abraham. Ia melintasi ruangan demi ruangan di kantornya, dan berakhir di ruangannya sendiri. Sedari tadi pikirannya melayang ke Olympian's Fairy yang tak ia dapatkan bukunya semalam. Membanting tubuh di kursi kerjanya, Abraham menghela napas. Tiba-tiba figur Jeremy muncul di depan mejanya.

"Jack belum kemari?" serunya, membuat Abraham terperanjat kaget. Ia mengangkat kepalanya.

"Aku baru datang." sahutnya datar, lantas kembali menyandarkan kepalanya.

Jeremy menautkan alis. "Kenapa kau lesu sekali?"

"Aku tidak kebagian buku Olympian's Fairy."

"Hah?"

"Kau tahu penulis fantasi bernama Fairy Olympics atau tidak?"

Jeremy menggeleng.

Abraham mendesah singkat. "Useless."

"Detektif!!" seru seseorang tiba-tiba. Mereka menoleh.

"Jack tewas!"

Pekarangan rumah Jack ramai tetangga yang berkerumun. Mereka bergumam satu sama lain sambil memandangi kantong kuning di mobil jenazah. Tak lama dari itu datang Jeremy dan Abraham dengan wajah panik luar biasa. Napas mereka menderu, berusaha menggaet oksigen karena kelelahan berlari. Mereka langsung menerobos kerumunan menuju mobil jenazah tersebut. Melihat kantong kuning yang tidak lain berisi mayat Jack, Jeremy kelepasan mengumpat.

"Sialan!"

"Apa yang terjadi?" Abraham bertanya pada salah seorang petugas.

"Tadi seorang warga menelpon dan mengatakan melihat mayat di depan rumah Jack Timothy." sahut petugas tersebut.

Jeremy mendelik, lantas menyela. "Apa? Bagaimana bisa?!"

Abraham menggertakkan giginya, membalikkan badan menuju kerumunan warga.

"Apa ada yang melihat kejadiannya?" tanyanya.

Beberapa warga menggeleng. "Kami tahu tadi pagi, Detektif." sahut salah seorang dari mereka.

"Sial."

***

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang