Pemberhentian

658 79 2
                                    

***

Beberapa bulan setelah pemakaman Thomas dan Owen—dan juga detektif lain, kantor terasa begitu longgar. Hanya Abraham, Jeremy, dan Larry lah yang tersisa. Mereka pun jadi tidak seaktif dulu, saat para detektif masih lengkap. Pagi itu Abraham tengah menemani Deputi Deph mengunjungi makam Thomas dan Owen.

"William Rotterwood adalah kasus pertamaku pada tahun 1830, saat aku baru saja menjadi deputi. Aku telah bekerjasama dengan ayahmu dan Owen sejak lama, kuakui mereka detektif yang luar biasa." Tutur Deputi. Abraham memasang telinga sembari matanya mengamati batu nisan ayahnya.

"Bekerja keraslah, kau dan Jeremy. Kuharap kasus Jack segera terselesaikan. Sudah lama sekali kasus itu muncul, dan jika sampai sekarang belum menemui titik akhir sangatlah tidak mungkin."

Well, akhir seperti apa yang Anda inginkan, Deputi? Abraham tidak menyahut, masih sibuk mengamati yang ia amati tadi. Tidak. Ia tidak berharap kedua orang itu mati secepat ini, apalagi karenanya.

"Larry McGahl orang yang baik, Abe. Ajarilah dia beberapa hal yang kau ketahui tentang Jack. Mungkin nanti aku akan mengikutsertakannya dalam kasusmu."

"Okay." Sahut Abraham pada akhirnya, setelah puas membisu. Tak lama mereka pergi, memulai aktivitas masing-masing di kantor.

***

Hari ini kebetulan seluruh staff mendapat cuti setengah hari. Hanya sampai siang itu, pukul satu, mereka sudah membereskan barang dan bersiap pulang. Namun Abraham tetap duduk diam di ruangannya. Entah sejak kapan ia tenggelam dalam pikirannya, mungkin memikirkan cara yang cocok untuk menghabisi Jeremy. Atau siapapun itu yang menghalangi jalannya. Atau bisa saja Anna. Atau Agatha. Ah, persetan. Seharian ini Jeremy tak nampak batang hidungnya, begitupun Larry. Entah kemana perginya mereka, terserah saja. Toh tidak ada yang peduli. Abraham memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. 5 detik. 10 detik. Kembali ia buka matanya, lalu beranjak. Langkah beratnya membawanya menuju ruangan Deputi. Layaknya sopan santun manusia pada umumnya, ia mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilakan.

"Ada perlu apa?" Deputi menautkan alis kala melihat gelagat Abraham yang bertampang datar dan dingin melangkah mendekati mejanya.

"Guess what." Ujar Abraham, menunjukkan ekspresi susah ditebak. Deputi mengernyit.

"Apa?"

"Jack disini."

"Jack? Di mana? Apa maksudmu?"

"Di sini. Di hadapanmu."

Deputi hendak beranjak. "Apa—"

Tangan Abraham lebih gesit mengeluarkan pisau dari saku mantelnya. Pisau lipat barunya itu kini menancap di punggung tangan Deputi, membuat pria itu mengerang kaget. Ia lalu menarik pisaunya, menyambar perut Deputi.

"Ada kata-kata terakhir?" Desisnya.

Deputi menatap perutnya dan Abraham bergantian. "How..."

"Entahlah, Pak Tua. Rasanya seperti sudah mendarah daging. Seperti aku mahir menggunakannya saat melihat sebilah pisau."

"K-kau..."

Abraham mencabut pisaunya, segera menancapkannya kembali dan menusukkannya melintang ke atas. Darah segar mengalir. Deputi terkulai ke belakang. Abraham terdiam mengamati ulahnya barusan sebelum memutar badan. Dijumpainya Jeremy berdiri di sana, di depan pintu Deputi entah sejak kapan. Matanya tak berkedip menyaksikan pemandangan di depan matanya. Ia mengulas senyum, bukan senyum kasat mata khas Abraham yang biasa Jeremy lihat, melainkan senyum lain—yang biasa Abraham dapatkan saat bersama Michele.

"Abraham, jadi selama ini kau mencari dirimu sendiri?" Ujarnya dengan suara bergetar. Tangannya terkepal hingga memerah, menandakan bahwa ia sudah di sana menyaksikan kejadian itu sejak Abraham masuk ke ruangan Deputi.

"Skenario yang luar biasa, kan?" Sahut Abraham disertai seringai di ujung kalimatnya. Diraihnya leher Jeremy lalu mendorongnya hingga ke dinding.

"Sangat teliti dalam menghilangkan jejak." Jeremy melirik kedua tangan Abraham yang mengenakan sarung tangan. Cekikan Abraham pada leher Jeremy semakin kuat, membuat Jeremy meronta berusaha melepaskan tangan Abraham. Beberapa saat sampai dirasa Jeremy mulai kehabisan napas, Abraham melepas tangannya. Jeremy langsung menarik napas dalam-dalam melalui mulutnya. Ia terbatuk sambil memegangi lehernya.

"Mati kehabisan napas bukanlah gayaku. Tenang saja, partner." tutur Abraham.

Jeremy menoleh. "Sialan kau! Kau membunuh rekan-rekan kita!"

Abraham mencebik. "Sepertinya Bridgehills Cemetery memang tempat yang cocok untukmu."

Baru saja Jeremy hendak melayangkan tinjuan pada pipi Abraham, tubuhnya sudah lebih dulu kaku. Pisau Abraham menancap di lehernya, hampir menembus leher belakang. Ia berbisik di samping telinga Jeremy, entah didengar atau tidak.

"I never killed our fucking parents."

***

Larry hendak pergi menemui seorang temannya sore ini. Mereka janjian pukul 5, namun sejam sebelumnya ia sudah berpakaian rapi dengan rambut klimisnya. Bermaksud ingin datang ke rumah temannya lebih awal, ia beranjak meninggalkan apartemennya. Langkahnya menuju parkiran di lantai dasar sangat tenang dan dalam, ditambah suara sepatunya yang menggema. Sampai di mobilnya, ia masuk. Ada jeda beberapa saat sebelum ia melajukan kendaraannya, seperti yang biasa ia lakukan. Entah untuk bercermin dan memuji dirinya sendiri atau yang lainnya. Kali ini ia sempatkan membaca koran tadi pagi yang ada di jok sebelah kemudi saat seseorang tiba-tiba masuk di jok belakang mobilnya. Larry terkejut.

"Abraham?" Ia menoleh.

"Tidak seperti biasanya, ya, Tn. McGahl?" Desis Abraham dengan suara berat, dalam, dan dingin.

Larry menautkan alis. "A-ada apa ini?"

"Hanya ingin memberi tahu sesuatu padamu."

"Apa?"

"Semua orang yang berada di jalan yang salah harus disingkirkan."

Larry mengernyit tak paham. Tangan lihai Abraham tanpa disadari sudah menancapkan pisaunya di leher samping Larry, bahkan sudah menariknya kembali. Ia bersandar, menyaksikan Larry memegangi lehernya yang menyemburkan darah. Abraham mengetukkan jari pada lututnya, sambil mengucapkan kalimat-kalimat yang ada di serial The Humans.

"Pada mulanya manusia diciptakan berpasangan, begitupun wanita dan pria ini. Mereka menciptakan begitu banyak senjata hebat untuk peperangan yang mereka ciptakan sendiri. Namun semua itu akan hilang dan keropos seiring berjalannya waktu. Saat masih muda, kita diajarkan untuk saling menghargai, bukan? Bahkan sampai waktu berhenti, sampai Bumi tidak lagi berputar pada porosnya.

"Sebuah cerita tentang kehidupan yang akan menjadi abadi, yang sanggup mengalahkan rentannya usia. Bagaikan sebuah lilin dari kegelapan. Tak ada yang bisa memisahkan kedua elemen panas dan dingin. Walau sebenarnya manusia itu tak pernah ada, kehidupan tak pernah diciptakan. Ia mencari dirinya sendiri. Tangga paradoksmu yang akan membawamu ke kehancuran. Jauh terkubur di dalam Bumi, hancur dimakan ngengat. Tak akan ada yang memberimu belas kasihan. Karena setiap perbuatan perlu tanggung jawab. Semua manusia yang berada di jalan yang salah harus disingkirkan."

Tubuh Larry memucat, ia mulai lemas. "B-bisa-bisanya kau..."

Abraham mengangkat satu alisnya. "Apa?"

Larry mengejang sebelum terbujur kaku.

"Permisi," Abraham susah payah membelah lautan manusia di depan rumahnya. Ia bertanya-tanya sejak dari jauh, ada kejadian apa lagi di rumahnya. Setelah lama berjuang akhirnya ia bisa masuk, disuguhi pemandangan beberapa pria yang menggotong ibunya. Pucat, kaku, bekas kemerahan di lehernya.

"What the..." ia berlari menghampiri mereka. "K-kenapa ibuku?"

"Ke mana saja kau, Abe? Ibumu tewas gantung diri di kamarnya!"

***

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang