The Purge

582 80 1
                                    

Dua bulan lalu mereka menghadiri pemakaman Irish. Dua bulan lalu ruh Abraham dan Anna seakan diseret Irish untuk mengikutinya. Sekarang suasana berbeda. Mereka lebih sering berdiam diri, bahkan mengunci diri di kamar. Mereka rasa kepribadian lama Abraham muncul kembali. Sering mereka dapati Abraham duduk di kursinya seorang diri di kamar sambil membaca bukunya, Wrong Ways, seri terakhir dari serial The Humans karya Anonymous.

Suatu hari Raphael sedang membuka jendela kamarnya, menghirup udara pagi nan sejuk setelah sekian lama negaranya dilanda badai. Korban berjatuhan dimana-mana, kasus-kasus misterius merayap naik hingga tak karuan jumlahnya. Pembunuhan merajalela, tak pandang usia dan jenis kelamin. Seorang wanita tak ragu lagi membunuh, mereka berbondong-bondong merampok toko-toko bersama kawan lelakinya. Negaranya bagaikan ladang mayat, bagaikan lautan darah korban tak bersalah.

"Namun semuanya sudah bersih sekarang." tutur Veronica, seorang teman Raphael yang sedang bercakap dengannya. Seorang wanita berambut pirang yang sudah lama menjadi pujaan hatinya.

"Who knows the future?" Raphael mengangkat kepalanya, menautkan pandangan mereka.

"Tidak akan ada lagi sesuatu yang mengerikan seperti dulu."

"Like, a murder?"

"Kenapa nada bicaramu begitu?"

"Apa?"

"Itu hal yang tak kusukai darimu, Raphael."

Raphael terkekeh. Sudah berapa kali Veronica menolaknya? Dan berapa kali pula wanita itu mengatakan apa yang tak ia sukai dari dirinya? Sudah beribu kali.

"Tapi tetap saja," Raphael kembali berujar. "Mereka yang berada di jalan yang salah harus dibersihkan."

***

"Buku apa itu?"

Larry melirik, mendapati sosok Abraham berdiri di depan mejanya dengan sebuah map. Ia mengangkat kepalanya, menegakkan tubuhnya sedikit dari posisi semulanya yang menopangkan jemari pada pelipisnya.

"Ini?" pria blonde itu menunjuk bukunya. "Wrong Ways."

Abraham mengangkat alis. "Oh, kau punya bukunya juga?"

"Sure. Dia penulis favoritku."

Abraham menautkan alis. Segera ia sadar tujuan awalnya datang ke ruangan Larry adalah untuk menyerahkan map titipan Deputi. Disodorkannya map tersebut, Larry meraihnya.

"Terima kasih, Tn. Bloodwell."

Sebuah seringai terlukis kala Larry menyebut nama belakang Abraham. Tak ingin cari gara-gara, Abraham hanya membalasnya dengan tatapan dingin dan datar seperti yang biasa ia lakukan. Oh ya, ia sudah terlatih melakukannya sejak masih kecil. Sebuah tatapan yang diselubungi misteri, yang tak akan pernah dilupakan siapapun.

***

"Mereka yang berada di jalan yang salah harus dibersihkan." gumam Abraham siang itu kala merapikan barangnya. Ia mendecih, baru ingat kalau Larry juga seorang penggemar Anonymous. Well, peduli setan. Ia hendak pergi ke suatu tempat—yang tidak penting untuk diketahui. Tempat itu rahasia, setidaknya itu yang temannya katakan tentang rumahnya. Tunggu—teman? Sejak kapan Abraham punya teman, selain Michele? Hah, ini pasti lelucon. Ia hendak pergi ke rumah teman sekolahnya dulu untuk mengurus sebuah kasus. Jadi, ya memang tidak penting untuk dibicarakan. Mari kita fokus di kantor saja, pada divisi jaga malam. Mereka tengah merundingkan sesuatu pasal sebuah kasus baru. Namun Larry nampak tak ikut bergabung dengan mereka, sibuk membaca Wrong Ways.

"Ku kira juga begitu." tutur Lucas.

"Kita datangi saja Ny. Bells ini." sahut Yola. Ia melirik Larry yang beranjak dari tempatnya, menyumpah-serapahi Larry yang nampak tidak peduli.

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang