Irish Bloodwell

601 74 2
                                    

Jack benar-benar sudah mati. Abraham dan Jeremy sempat dikira pasien rumah sakit jiwa yang kabur, karena sepulang mereka dari TKP mereka bagaikan sepasang rekan zombie yang meracau tidak jelas sambil kadang tertawa sendiri. Kasus Emily sekali lagi hampir berhasil, namun sekali lagi juga gagal karena saksi itu dibunuh. Deputi sudah mengirimkan petugas untuk memeriksa mayat Jack, mencari tanda-tanda pembunuhnya. Sementara itu, Thomas—dan Owen sekali lagi kecewa dengan segala tetek bengek yang terjadi. Besar harapan Thomas untuk bisa bertemu langsung dengan Jack, mendiskusikan bahwa bukan dirinya lah pria berjas hitam itu. Beberapa hari setelah laporan dari pihak rumah sakit sampai di telinga mereka, kasus Emily resmi ditutup. Hari ini persidangan yang entah ke berapa perihal kasus itu. Hakim sudah mengetok palunya, menandakan berakhirnya kasus Emily, dengan tersangka Detektif Thomas Bloodwell.

"Dad?" Abraham menepuk pundak Thomas yang tengah duduk di bangku bawah pohon sendirian. "Kau baik-baik saja?"

Thomas mendongak, lantas mengangguk. "Ya. Setidaknya kasus ini sudah selesai."

Abraham terdiam, mengambil tempat di sebelah Thomas. Ia menghela napas berat. "Maafkan kami, Dad. Aku tahu kami lalai."

"Tidak." Thomas menoleh. "Kalian sudah lakukan yang terbaik. Terima kasih, Abe."

Percakapan itu tak berlanjut. Pandangan mereka sama-sama jatuh ke orang-orang yang menghambur keluar dari gedung pengadilan.

***

Oktober 1867

Malam ini malam terdingin Oktober. Sejak tadi siang angin berlomba-lomba menggugurkan dedaunan yang tersisa di tiap pohon. Abraham tengah terlelap kala angin dingin menerobos ventilasi kamarnya. Ia menggigil, menarik selimutnya sampai melenyapkan seluruh tubuhnya. Bunyi jam dinding menambah sunyi malam ini. Tak lama jam itu berbunyi, tak sengaja membangunkan Abraham. Ia melirik dari balik selimut, jam tua itu menunjukkan pukul 1 dini hari. Hari baru sudah berlalu selama satu jam. Abraham kembali menutup matanya. Pekerjaan hari ini sangat luar biasa. Mereka menerima seorang detektif baru. Namanya Larry McGahl. Ia berasal dari Birmingham, dan pria yang baik. Hanya saja ia nampak angkuh di balik setelan mahalnya. Dan Abraham benci orang-orang seperti itu. Hendak terlelap, Abraham menyadari ia sendirian di kamar. Ia menoleh, tidak mendapati Anna entah sejak kapan. Lantas suara tangisan dua gadis kecil di seberang kamarnya terdengar. Setengah malas, ia bangkit dan mengayunkan kakinya menuju kamar Agatha. Di dalam ia menemukan figur Anna tengah menenangkan gadis kecilnya yang baru saja hadir, Irish. Tanpa pikir panjang Abraham mendatangi Agatha, lantas menggendongnya. Anna menyadari eksistensi pria itu, lalu menoleh.

"Hai." katanya setengah berbisik. Abraham tak menyahut, melainkan mengecup puncak kepalanya sekilas lalu membawa Agatha keluar.

***

"Holy sh—"

Lucy datang membawakan banyak sekali camilan. Abraham membantunya menata makanan itu di meja, tak menghiraukan rekan-rekannya yang sibuk mengerumuni Anna dan Irish. Hari ini Jeremy dan detektif lainnya tengah berkunjung ke rumah Abraham. Kemarin Anna baru saja pulang setelah beberapa hari menginap di rumah sakit usai mereka kedatangan Irish. Pagi ini mereka berkunjung sambil membawakan hadiah.

"Astaga, Abe. Kau benar-benar punya lagi, ya." ujar Jeremy.

"Hei, Jeremy. Ajak pacarmu menikah sana." tutur Bible. Mereka tertawa. Tahun lalu Jeremy kedapatan mengencani seorang wanita di tengah jam kerja. Saat Deputi menanyainya ia mengaku memang sudah berkencan sejak lama.

"Benar. Kapan-kapan kenalkan pacarmu pada kami." sahut Titus. Jeremy memutar matanya.

"Siapa suruh berkencan diam-diam." timpal Carl. Mereka kembali tertawa.

"Ngomong-omong, Larry," Jeremy mengalihkan pembicaraan.

Larry menoleh. "Ya, Tn. Campbell?"

"Apa kabar Lucas?"

Mendengar pertanyaan Jeremy barusan, air muka Anna berubah. Tiba-tiba ia teringat hari itu saat Lucas dan teman-temannya—termasuk Jeremy—mengganggunya. Saat mereka mengatainya penyihir, saat pertama kali ia bertemu Abraham, saat keluarga Abraham membantunya, saat ia jatuh cinta pada pria dingin itu. Saat pertama kali ia merubah sikap introvert pria yang dulunya irit ngomong itu, saat pertama kalinya seseorang berhasil membuat Abraham blak-blakan tentang dirinya. Seakan mengetahui isi pikiran Anna, Abraham meliriknya. Pandangan wanita itu kosong, entah terbang ke mana. Abraham menepuk pundaknya, memaksa wanita itu untuk menatap ke dalam mata hijaunya yang teduh. Anna menoleh perlahan, wajahnya datar.

"Lucas sekarang tinggal di Melbourne dengan istrinya." sahut Larry yang notabene sepupu Lucas.

Abraham melirik mereka sekilas. Manusia bedebah itu masih hidup rupanya, ya, Jeremy?

"Oh, wow." Jeremy menaikkan alisnya.

Abraham kembali menautkan pandangannya dengan Anna. Seakan bisa bertelepati, Abraham mengatakan pada wanita itu bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang akan terjadi, setidaknya Lucas dan Jeremy sudah insaf sekarang. Biarlah sisi keparat mereka mati dimakan usia di dalam diri mereka sana. Anna mengulas senyum tipis, hampir tak nampak.

"Ngomong-omong, apa boleh aku bawa mobilku ke kantor?" tanya Larry. Mereka semua menoleh.

"Why not?" Bible mengedikkan bahu.

"Kau punya mobil?" Jeremy menyela.

Larry mengangguk. Rambut klimisnya memantulkan cahaya. "Ayahku hanya mengijinkanku menggunakan mobil itu untuk bekerja. Padahal itu mobil yang beliau hadiahkan untukku."

"Kau tinggal di mana, sih, Larry?" timpal Carl.

Larry menoleh dengan penuh wibawa, bak seorang raja yang sedang rapat bersama raja wilayah lain dan menjaga imejnya. "Di apartemen orang tuaku. Kebetulan mereka mengelola gedung apartemen di London."

"Apartemen?" gumam Tracy.

"Ya, Ny. Wilson." sahut Larry yang ternyata mendengarnya. "Apartemen, bukan penginapan sederhana seperti yang ada di sekitar sini."

Mereka semua diam. Dalam hati Abraham menggerutu. Hati-hati dengan kepalamu yang terlalu besar, Nak.

***

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang