Imitator pt. 3

717 81 0
                                    

"Tidak cocok." ujar Deputi.

"Apa?" Jeremy mendelik. Abraham juga sempat terdiam sambil mencerna ucapan Deputi.

"DNA di barang bukti tidak cocok dengan satupun DNA korban, mulai dari Rotterwood hingga Emily." terang Deputi. Mereka terdiam.

"Lalu bagaimana dengan Jack?" tanya Abraham.

"Dia pasti hanya main-main."

"Main-main dengan kasus serumit ini? Berani sekali dia?!" pekik Jeremy. Ia nampak kesal.

Abraham diam.

Berpikir.

Ia menggertakkan giginya.

"Apa dia akan dibebaskan?" tanya Abraham akhirnya setelah keheningan menyelimuti mereka beberapa saat lalu.

"Tidak." sahut Deputi.

***

Agustus 1865

Hari berikutnya setelah kunjungan ke reskrim, Abraham dihadiahi berkas kasus baru seabrek. Rasanya laporan-laporan ini berasal dari tengah kota hingga pedalaman, yang membuatnya harus memijat kening sembari membaca berkas tersebut satu per satu. Kasus Jack divakumkan untuk sementara. Tentu saja Jack asli, bukan sang imitator mengerikan itu. Ia—dan Jeremy—bisa sedikit bernapas lega karena tidak lagi harus mengurus Jack palsu sialan itu. Kenyataan bahwa pria gila itu sendiri yang memaksa hakim agar menjebloskannya ke penjara walau ia terbukti tidak bersalah, benar-benar membuat Abraham mengelus dada. Ia tidak habis pikir dengan segala ulah Jack dan tetek bengeknya yang sempat menghebohkan seisi London tahun lalu. Ia ragu petugas reskrim benar-benar menyediakan psikiater untuknya, karena pria itu masih saja 'gila' di mata Abraham.

"Hei, Partner. Kau pasti tidak mau mendengarnya." Jeremy tiba-tiba mendobrak masuk ke ruangannya. Ia menoleh.

"Apa?"

"Jack tewas semalam."







Abraham POV

Tunggu—Jack tewas? Aku tidak salah dengar, kan? Jeremy tidak sedang meracau, kan? Aku mengatupkan bibirku rapat selama sesaat. Setelah menelaah jawaban yang bagus, pantas, dan layak, ternyata aku terlalu payah untuk mengutarakannya. Kuurungkan niatku untuk menjawab lebih lanjut. Jeremy nampaknya juga. Ia nampak kecewa, aku tahu itu. Entah apa yang dikecewakannya, aku tidak peduli. Sejenak aku terhanyut dalam lamunan sebelum Jeremy akhirnya membuyarkan lamunanku dan mengajakku pergi ke reskrim. Ia menawari tumpangan. Tapi seperti biasa, kutolak halus dan bodohnya ia ikut-ikutan aku berjalan kaki. Jadilah kami bergegas ke reskrim pagi itu, tanpa berucap sepatah kata pun.

Sepanjang pintu masuk reskrim hingga pintu utama dipenuhi wartawan dan media yang gusar ingin meliput kejadian di dalam sana. Kami sempat kehabisan akal melewati lautan manusia ini, lalu polisi muda yang bertugas kemarin membantu kami masuk. Mengambil langkah seribu, kami dipandu menuju sel terisolasi dengan dipenuhi berbagai pertanyaan di kepala kami.

"Bagaimana bisa ... " gumam Jeremy. Entah berapa kali kuhitung ia menggumamkan kalimat itu tanpa lanjutan.

Kami berhenti di depan sel yang dikerumuni beberapa orang. Kulihat Deputi ada di sana, sedang terlibat percakapan serius dengan Kepala Reskrim. Dan—jika aku tidak salah lihat—ada ayah dan Tn. Owen.

"Apa itu ayah?" ujar Jeremy. Nampaknya ia juga melihat mereka, bukan hanya aku. Ia menghampiri dua pria tersebut, aku mengekor.

"Dad," sapanya. Mereka menoleh.

"Oh, hai." sahut Tn. Owen. Sejurus kemudian ia melirik ke arahku. "Hai, Abe."

Aku mengulas senyum singkat. Sebuah senyum yang kuyakini tidak tampak seperti sebuah senyuman. Ayah melirikku sekilas saat aku tak sengaja menjatuhkan pandangan padanya, lalu kembali beradu argumen dengan Tn. Owen.

Aku beralih pada tubuh Jack yang terbujur kaku di atas kasurnya. Mulutnya berbusa, matanya mendelik. Sepertinya ia epilepsi. Well, itu artinya kemarin terakhir kali aku melihatnya. Aku pasti akan merindukan tawa mengerikannya suatu saat nanti, tawa seorang pria gila yang mengaku sebagai buronan kelas atas London. Kudapati dari ekor mataku, Jeremy sedang berpikir keras. Pandangannya terpaku pada mayat Jack—atau mari kita sebut sang imitator saja karena aku tidak sudi mengingat ulahnya—dengan segala kemungkinan yang terjadi.

"Apa yang membunuhnya?" ujar Jeremy. "Atau, siapa?"

Aku menoleh. "Sepertinya dia epilepsi."

"Epilepsi? Hanya itu? Aku ragu."

"Lalu apa asumsimu?" aku kembali memandang mayat sang imitator. "Bunuh diri?"

Jika memang begitu maka ini akan jadi kasus terkeren sepanjang karir hidupku.

"Dia ... " jeda. Sebuah jeda yang lumayan lama.

Tapi kuakui ini memang kasus keren jika asumsi bunuh diri Jeremy terbukti benar. Aku akan pesan headline berbunyi 'Bosan Meniru, Sang Imitator Jack Bunuh Diri'.

"Dibunuh." sambungnya. Aku terdiam, terkesima, terhenyak dari lamunan bengisku.

Wow.

"Secepat itu? Siapa yang punya dendam sampai ke tulang rusuk sehingga membunuh di tempat seperti ini?" ujarku. Jeremy mengedikkan bahunya.

"Mungkin, orang yang lebih gila darinya."

Aku diam. Mencoba membungkam mulutku sendiri menghindari menjawab lebih lanjut. Kau sudah cukup banyak bicara, Abe.

***

Puas merundingkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi, beberapa petugas medis mengangkut mayat Jack. Mereka mengantongi mayat itu, merapikan selnya, lalu pergi melewati kami yang masih ada di situ. Deputi menghela napas berat. Ia yang kebetulan berdiri di sebelahku dan Jeremy berujar, "Kalian kembalilah ke kantor. Selesaikan kasus lain."

Kami mengangguk hampir bersamaan, lalu pergi.

Di jalan terasa begitu singkat. Seperti ada lubang cacing dan, boom, kami sudah berada di kantor. Aku masuk ke ruanganku, Jeremy tanpa kusadari mengekor. Aku sempat ingin menyuruhnya pergi, namun kuurungkan. Kami duduk terpisah dan saling bungkam selama beberapa saat, aku di bangkuku dan dia di sofa. Kurasakan pening menyergap kepalaku. Kupijat pelipisku pelan, sambil mencoba mengosongkan pikiran barang sejenak. Jeremy, kerap merutuki dirinya sendiri—entah kenapa.

"Bisa kau diam?" aku bergeming menghentikan mulut Jeremy yang nyerocos tanpa henti. Pria itu menatapku lalu menyahut.

"Aku penasaran siapa yang melakukannya."

"Kalau kau penasaran cari tahulah, dan jangan banyak bicara."

Pria itu diam, membanting tubuhnya di sofa.

"Aku mau pulang." ujarku. Aku berdiri, meraih jasku, dan berlalu begitu saja tanpa menoleh pada Jeremy yang berbaring di sofa ruanganku dengan raut muka stres.

Tangisan Agatha menyambutku begitu tiba di rumah. Gadis kecil itu berisik juga ternyata. Aku masuk ke kamar, melewati Anna yang sedang menenangkan Agatha di ruang keluarga.

"Tumben kau sudah pulang?" ujarnya. Kuhentikan langkahku lalu menoleh.

"Aku mau istirahat." sahutku dan berlalu menghilang di balik pintu kamar.

Alih-alih menjadi tenang, pikiranku malah tambah kacau. Segala jenis pertanyaan dan tetek bengeknya menyergap kepalaku tiba-tiba. Aku merasa tidak baik. Tidak, bukan karena aku overthinking seperti Jeremy. Aku merasa sesuatu yang berat menimpaku, menyeretku ke dalam kegelapan di dalam diriku sendiri. Aku tidak tahu kenapa, tapi kurasa aku sedikit tertekan karena hal ini. Entahlah.

Tangisan Agatha yang semakin menjadi-jadi membuat kepalaku serasa ingin pecah, malahan lebih parah dari itu. Aku mengunci pintu, membuka lebar-lebar gorden jendela. Kupandangi apapun itu yang ada di luar. Aku masih merasa buruk. Kuputar tubuhku menghadap rak buku koleksiku, berjalan terhuyung ke arahnya seperti orang yang hilang akal. Oh, tidak. Tangisan Agatha lagi. Kuremas rambutku kesal, merutuki diriku sendiri. Kuraih buku-buku yang berjajar di rak buku, menjatuhkannya dengan keras. Bahkan aku menyempar dan menendang buku yang sudah tergeletak di lantai.

Sang imitator tewas, sudah berakhir sekarang. Tapi kenapa aku masih merasa tidak sudi membayangkan tawanya?

***

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang