Imitator

854 105 1
                                    

***

Jatah cuti beberapa pekan Abraham terpaksa harus ia relakan melebur dalam panggilan kantor yang mendadak kemarin. Untungnya Anna bisa mengerti segera setelah Abraham memberitahunya. Sekarang apa? Jack muncul? Jack yang asli? Menyerahkan diri begitu saja? Cih. Orang bodoh pun tidak akan sebodoh itu menyerahkan diri setelah menimbulkan kasus yang merepotkan seantero London. Pembunuh 'ulung' yang sudah menyusahkan detektif selama lebih dari dua dekade, sekarang menyerahkan diri begitu saja? Dia memang bodoh, cari gara-gara, atau apa? Dan pagi ini Abraham harus berkelit dengannya lagi, ditemani Jeremy dan cerutu di sela bibirnya.

"Selamat pagi, Deputi." sapa Jeremy. Pria itu mematikan cerutunya begitu memasuki ruangan Deputi.

Deputi melirik. "Selamat pagi, Tuan-tuan. Silakan duduk dulu."

Yang dipersilakan duduk bersebelahan tanpa aba-aba. Dan benar saja suasana begitu canggung seakan mereka tidak berlatarbelakang sekolah menengah pertama yang sama. Abraham memeluk dirinya sendiri dalam balutan jaket hitamnya. Kenapa dingin sekali? Ini bahkan masih pertengahan musim gugur.

"Ini," ujar Deputi seraya menghampiri mereka sambil membolak-balik kertas di tangannya, menyipitkan mata sesekali agar dapat membaca tulisannya dengan lebih jelas. "Berdasarkan catatan pengakuan imitator itu, entah ya atau tidak. Aku ragu dia memang imitator."

Imitator. Mungkin itu julukan yang pas untuknya selagi memastikan. Jeremy meraih selusin lembar kertas tersebut lalu membacanya. Abraham yang sibuk menghangatkan diri akhirnya ikut mencuri pandang dari sisinya duduk.

"Bla bla bla, mengatakan bahwa dia adalah pelaku semua kasus tersebut, bla bla bla." Jeremy membaca tulisan yang pertama kali nampak di pandangannya. "Omong kosong."

Rahang Abraham mengeras. Ia sedang berpikir keras, dan menggertakkan gigi, dan masih berusaha menghangatkan tubuh. Apa ada yang tahu kenapa pria ini suka sekali menggertakkan gigi saat sedang berpikir keras? Mungkin hanya dia yang tahu.

"Kapan pria ini melapor, Deputi?" tanya Jeremy.

Deputi menjawab segera, masih berdiam di posisinya sambil melipat tangannya. "Kemarin pagi. Beritanya baru sampai siangnya, beruntung sekali saat acara Abraham sudah selesai."

Abraham melirik Deputi sekilas karena baru saja mendengar namanya disebut. Cuek, ia kembali memandang ke sembarang arah sambil berusaha menghangatkan tubuhnya. Uap mengepul dari hembusan napas di mulut Abraham.

"Hmmm," Jeremy membaca lembar lain sekilas, kembali menirukan bacaannya. "menyerahkan dua buah pisau lipat dan sebuah kapak kecil dengan bekas darah ... "

Abraham menoleh. Kali ini, telinganya seakan mendengar suatu berita mengejutkan bahwa Inggris bergeser hingga ke sebelah barat Afrika. Pendengarannya menajam.

"Tidak menyebutkan nama asli, yah?" Jeremy nampak membolak balik lembaran di tangannya seperti mencari sebuah nama. Nihil.

"Masalah senjata itu, kau tenang saja. Sedang dilakukan pencocokan DNA." ujar Deputi. Abraham ganti menoleh ke arahnya. Jeremy juga, lalu mengangguk.

"Apa dia di sini?" tanyanya. Jeremy merapikan lembaran tersebut.

Deputi mengangguk. "Tentu saja. Aku tidak yakin dia bangun sekarang. Semalam ia berisik sekali, baru tenang tadi pagi sekitar pukul 4. Gila, kan?"

"Gila." desis Abraham. Mungkin Deputi dan Jeremy tidak mendengarnya, entahlah. Deputi kembali ke kursinya dan Jeremy mengekor, meletakkan lembaran tersebut di meja Deputi.

"Aku mau ke ruang tahanan." tutur Jeremy sembari mengenakan sarung tangannya.

Hah, dia terlihat seperti seorang mafia bodoh yang suka mengganggu orang saat masih sekolah.

Antisocial [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang