BINTANG JATUH

95 5 0
                                    



Pulang sekolah, Aura diantar supirnya mampir ke rumah Golan. Dia bawa sekeranjang buah. Gue intip dari jendela rumah, ada jeruk mandarin, buah naga, pisang dan pear. Bang Gibran lagi nyuci mobil di halaman rumah. Aura tampak malu-malu salah tingkah waktu ketemu bang Gibran. Ih, kok gitu sih? Adeknya diembat, abangnya juga diembat! Dasar genit!

Aura tampak ngajak ngobrol Bang Gibran. Tapi Bang Gibrannya kayaknya lagi repot banget. Lalu menyuruh Aura masuk. Ibu menyambut dengan senyum ramahnya. Belum pernah sih Ibu menyambut gue seperti itu kalau gue datang ke rumahnya.

Aura emang keterlaluan. Udah nggangguin kebersamaan gue sama Golan, belum lagi bikin ibu jadi suka sama dia. Gue kalah! Awas aja kalau Golan sampai ngajak dia ke loteng! Gue nggak bakalan mau main lagi sama Golan!

"Ngintip apa sih Neng?" Si Mbak bikin kaget aja.

"Enggak."

"Eh, yang suka datang ke rumah Ibu sebelah itu pacarnya siapa sih Neng? Pacar Mas Gibran apa pacar Mas Golan?" Si Mbak kepo!

"Bukan pacar siapa-siapa!"

"Kayaknya kok Neng Neta cemburu gitu ya? Kalau Neng Neta pacar siapa? Mas Gibran apa Mas Golan?"

"Ih, Mbak! Bukan pacar siapa-siapa!"

"Terus yang nganterin pulang tadi pacar siapa?"

"Bukan pacar siapa-siapa, Mbak!"

"Asiiik. Semuanya masih jomblo. Kalau gitu Mbak pacarin aja ah salah satu...."

"Ya udah sono kalo merekanya mau!" Iiiih, Si Mbak kepo banget sih! Tapi Mbak memang benar, gue iri sama Aura!

*

Setelah gue lihat Aura pulang, gue ke rumah sebelah. Sejengkel-jengkelnya gue sama Golan, tapi kalau dia sakit, gue tetep nggak tega sama dia. Lagian seharian nggak lihat mukanya juga nggak tahan gue.

"Habis dijenguk siapa lu?" Ledek gue.

"Aura."

"Kalau Aura yang jenguk aja, girang."

"Ya nggak papa kan?"

"Giliran gue yang datang, muka lu asem. Kan gue datang juga buat ngejenguk lu."

"Habisnya kamu udah biasa mondar-mandir ke rumah ini, sampai aku nggak bisa ngebedain kamu lagi njenguk aku apa lagi niat cari cemilan."

"iihhh.. Jahat banget!"

"Tuh, ada buah dari Aura. Kalau mau, ambil aja."

"Ogah ah!" Amit-amit makan buah dari Aura! Haram!

"Di meja makan ada pisang goreng." Nah, kalau yang itu boleh. Halal! Gue mendekat ke meja makan.

"Ibu, bagi pisang gorengnya ya." Ibu sedang di dapur.

"Eh, ada kamu, Net. Iya habisin aja." Sahut ibu.

"Makasih ya Bu!" Gue balik lagi ke kursi tamu. Duduk di depan Golan.

"Kamu tadi pulang sama Marko lagi?"

"Iya. Habisnya lu nggak masuk."

"Kan bang Gibran udah nawarin mau ngejemput."

"Kasihan bang Gibran. Ngerepotin."

"Hati-hati kamu sama Marko."

"Lu juga harus hati-hati sama Aura."

"Apa sih, Net."

"Lu yang apaan!" Udah deh, kalau udah ngebahas dua alien itu, jadi kaku obrolannya. Jadi aneh! Illfeel! Kenapa dua alien itu harus datang dalam persahabatan gue sama Golan sih?

*

Di Line, gue, Golan dan bang Gibran punya grup obrolan. Namanya The Roti Bakar. Pencetusnya bang Gibran. Itu gara-gara bang Gibran suka bikin roti bakar dan ngajak ngumpul di loteng atau teras rumahnya. Roti bakar buatannya yummy banget dah!

"Pada ke loteng dong. Ada roti bakar nih. Masih anget. Mau isi coklat, strawberry, atau pisang keju? Buruan, adek-adek!" Tulis bang Gibran. Ini malam Minggu. Sejak tadi gue memang lagi nggak ada niat datang ke loteng seperti biasanya. Padahal langit cerah. Ada bulan. Tapi begitu ada yang nawarin roti bakar, gue berubah pikiran.

"Asyiiiik. OK, Bang!" Tulis gue. Golan nggak ngebales. Tapi yang membaca pesan ada tiga orang. Berarti dia tau. Gue langsung ganti celana panjang dan ambil jaket.

"Mau kemana, Net?" Tanya Mama.

"Ke loteng, Ma. Bang Gibran bikin roti bakar."

"Jangan sampai terlalu malam ya."

"Iya, Ma." Ibu Golan sedang di ruang tamu nonton TV. Gue bilang permisi. Ibu menoleh sambil tersenyum.

"Naik aja, Net. Sampai jam Sembilan ya."

"Iya, Bu. Permisi ke atas dulu ya bu."

"Iya." Ibu lanjut nonton TV. Di loteng, Bang Gibran dan Golan sudah nungguin. Gue langsung gabung, duduk lesehan di karpet dekat jendela. Bulan bersinar terang, nggak ada awan, bintang-bintang tampak redup, kalah sama bulan.

"Mau yang isi apa?" bang Gibran nawarin.

"Yang coklat bang." Kata gue sambil mengambil roti berbentuk segitiga. Ini roti bakar khasnya bang Gibran. Kalau rotinya dilipat segitiga, isinya coklat. Kalau persegi panjang, isi strawberry. Kalau digulung, berarti pisang keju. Golan diam aja di dekat jendela. Sedang mengunyah roti isi strawberry. Tiga cangkir capucino hangat udah tersedia. "Bang Gibran hebat deh. Pinter masak. Bakal seneng banget nih cewek yang jadi pacar Abang."

"Ya udah. Lu aja sini jadi pacar gue."
"Ih, ogah. Nggak mau gue jadi kakak ipar Golan."

"Yeee, siapa juga yang mau punya ipar kayak kamu!"

"Eh! Kalian ini kenapa sih? Berantem mulu kerjaannya! Udah pada diem! Rotinya jadi nggak enak ntar!" Bang Gibran melerai. Gue julurin lidah gue ke arah Golan. Dia ngebales. Lalu kami diam sambil menghabiskan roti bakar.

"Lihat ke jendela deh, bulannya lagi bagus banget. " Kata bang Gibran. "Tau, nggak, sejak lu suka main ke loteng ini, Net. Gue merasa punya adik kembar. Golan sama lu. Gue sayang sama kalian berdua. Gue seneng banget ngelihat kalian rukun, kompak, kemana-mana bareng. Tapi gue akhir-akhir ini ngelihat kalian agak berubah. Lebih sering berantem, saling ngediemin, saling ngambek. Nggak asik banget. Kenapa sih kalian? Sedih ngelihatnya." Gue dan Golan menunduk. Bang Gibran emang bener. Gue dan Golan hanya diam.

"Setiap masalah kan bisa diomongin. Udah pada gede, harus lebih bijaksana dong."

"Iya, Bang." Jawab Golan. Gue mengalihkan pandangan ke jendela. Ada benda berkerlap-kerlip di langit dan bergerak. Buru-buru gue berdiri menuju jendela.

"Ada bintang jatuh!" Teriak gue.

"Mana?"

"Itu!" Jari gue menunjuk ke langit. Bang Gibran dan Golan mengikuti. Lalu mereka tertawa ngakak.

"Itu pesawat terbang!" Pipi gue jadi merah. Yah, salah. Kirain bintang jatuh. Mereka masih tertawa. Lalu Golan mengambil gitarnya di sudut ruangan.

"Ayo, Net, nyanyi History nya One Direction!" Ajak Golan.

"Gue perkusinya." Kata Bang Gibran sambil menunjukkan piring dan garpu. Kami tertawa. Bang Gibran ada-ada aja.

"Sepuluh menit lagi jam Sembilan!" Teriak Ibu Golan dari bawah.

"Yaaaah." Jawab kami serempak. Kami tertawa lagi.

*


Kerlip di LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang