HUJAN METEOR

76 4 0
                                    


Mama sudah tau peristiwa yang menimpa gue di taman bermain itu. Mama lalu meminta gue untuk tak lagi berhubungan dengan Kak Marko. Entah di sekolah maupun di medsos. Gue bener-bener harus putus hubungan. Kata mama, ini demi kebaikan gue. Agar gue nggak diteror-teror lagi sama sedan putih dan penumpangnya.

Dan gue harus selalu pulang sekolah bareng bang Gibran. Nggak boleh lagi ngebonceng kak Marko. Kalau kak Marko masih nekat datang ke rumah, Mbak harus ngusir dia. Pokoknya gue harus jauh sejauh-jauhnya dari Kak Marko.

Apa yang diminta mama itu bener-bener gue lakukan. Gue udah nggak mau lagi ketemu sama Kak Marko. Gue selalu menghindar kalo kebetulan ngeliat dia, supaya dia nggak nyamperin gue lagi. Gue nggak mau ngomong sepatah katapun sama dia lagi. Selesai.

Gue nggak benci sama dia. Gue benci sama sikap mamanya. Masak gue difitnah udah bikin Kak Marko jadi nakal dan pembangkang? Gue nggak terima itu. Gue nggak pernah ngedeketin Kak Marko. Selama ini Kak Marko lah yang selalu nyamperin gue.

Dan yang paling menyakitkan, gue dituduh dan hanya diam aja tanpa bisa membela diri. Di taman bermain itu, gue nggak nangisin Kak Marko. Gue nangis karena nggak berkutik di depan ibu walikota yang sombong banget itu! Gue merasa dihina!

Tapi nyatanya menghindari kak Marko itu nggak gampang. Dia selalu nyariin gue. Gue sampai ngumpet-ngumpet dan menyuruh teman-teman sekelas gue berbohong tentang di mana gue sedang berada. Kadang kalau pas ketemu, gue buang muka. Kalau dia manggil, gue lari. Kalau dia menyapa, gue melengos. Pokoknya gue berusaha menjauh. Sejauh-jauhnya. Gue nggak mau dia ada di hidup gue lagi.

"Net, tadi Kak Marko cari lu. Dia cari lu mulu. Kayaknya hidupnya jadi kacau sekarang. Kasihan dia Net." Kata Vivin, teman sebangku gue.

"Lain kali kalau dia cari gue lagi, bilang yang kenceng sama dia, Vin. Pergi jauh-jauh dari Neta! Jangan ganggu hidup Neta lagi! Neta udah nggak peduli!" sampai Vivin tutup kuping.

*

Tadi pagi, waktu berangkat sekolah, gue lihat iklan pemasaran apartemen baru milik keluarga Viona. Di tengah kota. Ukurannya besar banget. Dan yang bikin gue kaget, bintang iklannya Kak Marko dan Viona. Bergandeng tangan, saling pandang, dan tersenyum bahagia. Gue jadi tau, apa yang terjadi setelah Kak Marko dipaksa pulang mamanya di taman bermain waktu itu. Pertunangan terjadi.

Entah paksaan, entah benar-benar rela, gue nggak tau. Dan gue memang nggak ingin tau. Bukan urusan gue. Kalau di papan iklan sih mereka tampak bahagia banget. Nggak tau deh. Kan foto di iklan bisa direkayasa dan diarahkan sama pembuatnya. Ya semoga saja, senyum bahagia mereka itu asli. Bukan karena diarahkan sama sutradara iklannya doang.

Siang itu, pulang sekolah, Golan bareng Aura karena ada tugas kelompok. Tau deh, kelas mereka kok ada tugas kelompok mulu kerjaannya. Ya udah, biarin aja. Gue nungguin Bang Gibran ngejemput di halte. Biasanya bang Gibran naik motor kalau cuma jemput gue. Hufh, panas banget!

Tiba-tiba ada cewek yang ngedeketin gue. Anak kelas 12 kalau nggak salah. Kayak pernah lihat, tapi lupa-lupa ingat. Siapa ya? Haduh, pakai rok panjang span pocong dan kemeja seragam model cropty. Seksi bohai deh pokoknya. Belum lagi dua kancing kemejanya yang paling atas nggak dikancingin. Rambutnya tergerai badai. Ada ombrean warna merah marun di ujungnya. Tasnya merek terkenal. Sepatunya sudah pasti mahal banget tuh.

"Dek, lu yang namanya Neta?" Hah? Dia tau nama gue?

"Eh, iya, Kak. Kok kakak tau ya?"

"Ya tau lah." Dia menyibakkan rambutnya. Ya Tuhan, gue baru ingat. Ini kan Viona! Ketua gang cewek Perpanasal itu! Yang ada di iklan apartemen tadi pagi! Tunangan Kak Marko? Ternyata orangnya jauh lebih cantik dan indah dibanding yang ada di iklan dan instagram yang pernah gue stalk.

Kerlip di LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang