Aku merasa kayak ngalamin dejavu. Seorang cewek baru, anak pindahan dari sekolah lain, duduk di bangku seberang sana, sebentar-bentar ngelirik ke arah bangkuku. Tapi aku cuekin. Waktu jam istirahat tiba, dia ngedeketin aku dan bertanya,"Sedang ngegambar apa?" dan persis yang pernah aku alami dulu waktu masih kelas 2 SD, aku sedang ngegambar sketsa Saturnus berikut cincin dan ke-32 satelitnya.
"Planet." Jawabku. Tapi cewek yang ini beda 180 derajat. Bukan tengil dan galak seperti yang pernah kualami waktu kelas 2 SD dulu. Dia yang ini, ayu, lemah lembut, dan keibuan.
"Semester ini kita lagi nggak ngebahas tentang tata surya kan?" Tanyanya lagi.
"Enggak. Ini iseng saja kok." Jawabku.
"Oh. Tapi gambaran lu bagus. Rapi. Bersih." Pujinya.
"Terimakasih."
"Oh, ya. Nama lu siapa?"
"Golan."
"Oh, Golan. Lu nggak ganti tanya siapa nama gue?"
"Kan tadi kamu udah kenalan di depan kelas waktu baru masuk. Aku udah tau."
"Oh, iya, ya." Dia tertawa kecil sambil jemari lentiknya menutupi deretan giginya yang sempurna. "Eh, kenapa kita nggak pakai lu-gue aja biar akrab?"
"Kita udah akrab kok. Aku sih sudah biasa begini."
"Oh, gitu ya? Golan, boleh nggak gue pindah duduk ke sebelah lu aja? Kosong kan?"
"Oh, duduk aja."
"Ok. Makasih ya." Diapun segera mengambil tasnya dan pindah ke bangku kosong di sebelahku. Aku kembali mengerjakan sketsaku. Dia mengamati sambil sesekali bertanya tentang objek yang kugambar. Dinyalakan hapenya dan mencari gambar Saturnus di internet. Dia sangat antusias ketika menebak satelit yang baru kugambar.
"Itu pasti Titan! Satelitnya Saturnus yang merupakan satelit terbesar, ya kan?"
"Tepat! Nyontek di Google sih!" Dia tertawa girang. Kami hanya berdua di kelas. Anak-anak yang lain sudah ngacir ke kantin atau ke kelas pacarnya. Tiba-tiba dari kaca jendela tampak dua mata sedang mengamati kami. Ada tatap kecemburuan di sana.
"Eh, sebentar. Maaf. Permisi." Aku buru-buru meraih tongkat, berdiri, dan ingin mengejar si empunya mata itu. Aura juga buru-buru menyingkir dari bangkunya agar aku bisa lewat.
"Kenapa?"
"Itu, ada temanku."
"Cewek barusan?"
"Iya."
"Pacar lu ya?"
"Bukan. Itu Neta. Bentar ya?" Aku buru-buru ke luar kelas. Tapi begitu sampai di depan pintu, bayangan Neta sudah lenyap. Dia pasti mau mengajak ke kantin atau minta ditemani ke perpustakaan. Lagipula ngapain sih pakai ngintip-ngintip di jendela segala? Kenapa nggak nyamperin aja langsung. Nimbrung ngobrol sekalian? Pakai acara kabur segala. Manja banget! Segera aku kembali ke mejaku, mengambil ponsel dan membuka pesan.
"Net, kamu di mana?" Tulisku. Tapi sampai pulang sekolah pun, pesanku itu nggak dibalas. Biarin aja. Nanti kalau udah mulai butuh bantuan buat ngerjain PR matematika, dia kan juga bakal nongol lagi dengan sendirinya, merengek-rengek, merajuk-rajuk, merayu-rayu. Minta dikasihani. "Go, ajarin gue bikin PR. Dari tadi gue udah berusaha ngerjain, tapi otak gue buntu mulu. Please." Hah, kayak nggak hafal sifatnya aja!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerlip di Langit
Novela JuvenilPersahabatan antara 2 anak SMA, Golan dan Neta. Mereka sejak kecil sudah bersama. Melalui suka duka dalam pertumbuhan mereka memasuki masa remaja. Saling menyayangi, saling menjaga, dan saling melndungi menjadi roh mereka dalam menjalin sebuah persa...