RUANG HAMPA UDARA

100 4 0
                                    


Sekarang gue sudah kelas XII. Selama dua tahun ini, waktu berjalan lambat bagi gue. Sebab sejak kelas X gue kehilangan orang-orang istimewa yang sebelumnya selalu mengelilingi gue. Sejak mereka semua pergi, hidup gue bener-bener sepeti ruang hampa udara. Cahaya dan suara nggak mampu merambat di dalamnya. Sehingga gelap dan sunyi hidup gue.

Golan, pergi begitu saja secara mendadak. Tiba-tiba hilang lenyap. Hanya sakit beberapa hari. Sampai gue syok berat dibuatnya. Dulu, beberapa bulan setelah kepergiannya, gue sering mimpi ketemu dia. Tapi sekarang, gue sama sekali nggak pernah mimpiin dia. Mungkin karena gue udah iklas ngelepas dia dan dia juga sudah damai dalam tidur abadinya. Gue udah mulai bisa terima kenyataan. Gue juga udah mulai terbiasa tanpa dirinya.

Ah, kalau aja gue boleh pilih, Go. Gue lebih seneng kalau lu ngumpet aja di Planet Pluto kayak waktu kita kelas 2 SD dulu. Paling gue akan kesepian satu atau dua bulan. Setelah itu lu balik lagi dan kita bisa ketemuan lagi. Tapi sekarang, lu ngumpet di mana gue nggak tau. Di tempat antah-berantah yang jauh banget yang ada entah di mana. Dan gue tau, lu nggak bakalan balik lagi selama apapun gue menunggu. Dan gue bakalan kesepian seperti ini selamanya.

Kadang gue sengaja duduk lama di bawah pohon manga depan laboratorium fisika atau halte depan sekolah hanya untuk sekedar nungguin lu. Tapi sampai sekolah sepi pun lu nggak nongol juga. Ah seandainya lamunan dalam cerpen lu yang berjudul Kencan di Milky Way itu bisa jadi nyata, mungkin gue bakalan bisa ketemu lu meski hanya sebentar. Tapi sayangnya cerpen lu tuh cuma fiksi. Kemakan khayalan lu, gue!

Bang Gibran, ikut pindah ke Yogya bersama keluarganya. Sejak ulang tahun gue di loteng itu, kami sudah jarang kontak-kontakan lagi. Mungkin dia semakin sibuk karena harus menyesuaikan diri di tempat tinggal dan tempat kuliah yang baru. Gue juga ragu untuk menghubungi dia, takut ngeganggu. Atau malah gue akan terus-terusan mengingatkan dia pada adiknya yang telah tiada. Ya biarlah bang Gibran punya kehidupan baru. Jadi dia nggak terlalu sedih dalam dukanya.

Waktu ketemu terakhir di loteng pas gue ultah itu, dia pernah bilang,"Selama ini gue selalu ngalah sama Golan dan berusaha untuk ngejaga dia terus, karena gue merasa bersalah sama dia, Net. Gue yang bikin kakinya jadi lumpuh. Gara-gara gue boncengin dia saat gue belum terlalu bisa naik sepeda motor. Dia jatuh dan kaki kanannya tertindih motor. Gue merasa bersalah banget sama dia. Makanya gue pengin ngejaga dia seumur hidup gue. Tapi ternyata hanya bisa sampai di sini."

"Abang udah ngejaga dia dengan sangat baik. Jarang gue temuin seorang abang setia banget sama adiknya sampai seperti Bang Gibran." Hibur gue.

Kak Marko, sudah nggak pernah ketemu lagi sejak dia lulus SMA. Dia sudah kuliah di Australia sama tunangannya, Viona. Nggak ada kabar lagi tentang mereka. Dia juga nggak pernah nongol lagi di iklan-iklan perusahaan keluarganya. Yah, semoga saja Kak Marko dan Viona berjodoh. Hubungan mereka awet.

Dia cowok terganteng yang pernah singgah dalam hidup gue. Cowok teraneh yang pernah gue kenal. Sumpah gue nggak bermaksud nge PHP in dia. Gue seneng bersama dia. Walau mungkin namanya bukan cinta. Tapi apa ya? Sayang kali ya? Kalau gue nggak sayang sama dia, mana mungkin gue mau dideketin dan digangguin mulu sama dia? Dia kocak. Aneh dan unik. Tapi jurang di antara kami bikin gue harus ngejauh dari dia.

Kadang gue kangen buat ngebuly dia lagi. Tapi itu nggak mungkin lah. Dia udah jauh dari sini. Apalagi dia juga sudah punya tunangan. Kalau gue buly lagi, bisa dilabrak gue sama tunangannya. Dan tentang Ibu Walikota, lambat laun gue bisa memaafkannya. Buat apa menyimpan dendam. Apalagi dia juga nggak ada hubungannya sama hidup gue. Lupain aja yang sudah-sudah. Biar nggak sakit hati terus.

Aura pindah sekolah waktu naik kelas XI. Pekerjaan ayahnya mengharuskan untuk pindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Jadi mau nggak mau Aura harus ikutan pindah. Sejak Golan nggak ada, Aura menjadi teman terdekat gue. Dengan dia gue sering mengenang Golan. Ngomongin kebiasaan-kebiasaan Golan kalau kami sedang kangen padanya.

Dia juga yang ngebantu gue ngurusin cerpen-cerpen Golan agar bisa dikirim ke majalah. Sebenarnya dia suka sama Bang Gibran. Tapi entahlah, sejak Golan meninggal, Bang Gibran jadi pendiam dan cuek banget. Mungkin karena terlalu sedih. Sehingga nggak merespon Aura. Aura jadi ragu untuk ngedeketin dia. Ya mungkin memang nggak jodoh aja kali ya.

Cerpen-cerpen Golan gue urus dengan baik. Itulah warisan Golan yang paling berharga buat gue. Satu-satunya hal yang masih bisa menghubungkan jiwa gue pada jiwanya. Beberapa yang gue kirim, dimuat di majalah. Sebenarnya bang Gibran pernah bilang, honornya buat gue aja. Tapi gue nggak mau. Biar buat ibu saja. Dan kata bang Gibran, sama ibu disumbangkan ke panti asuhan. Ya baguslah, biar Golan seneng di atas sana.

Cerpen-cerpen yang belum kelar gue rapiin dan ada yang gue lanjutin dengan nama pengarang Golan Anggaraka feat Neta Ilona. Para penggemar cerpen Golan tetap banyak walau mereka tau Golan sudah nggak ada. Mereka masih aktif like dan komen di instagram. Seolah Golan masih ada saja. Gue yang menjawab mereka. Gue ingin Golan tetap hidup di hati gue dan di hati mereka lewat cerita-cerita fiksi yang kami bikin.

Ya gitu deh perjalanan hidup gue. Kata orang bijak, mereka yang pergi akan tergantikan yang datang. Tapi gue tetep aja galau. Mereka yang pergi tak kan pernah tergantikan. Mereka yang pernah datang ke hidup gue, nggak bakalan datang lagi untuk kedua kalinya. Pergi ya pergi. Hilang ya hilang. Lenyap ya lenyap. Kecuali kalau tiba-tiba ada keajaiban. Apa perjalanan hidup gue juga keajaiban? Coba aja ajaib beneran!

*

Rumah sebelah itu sudah laku dan ditinggali keluarga baru. Mereka juga punya dua anak laki-laki. Tapi masih kecil-kecil. Afro dan Aldi. Gue sering main ke rumah mereka sambil bawain kue atau permen. Modus. Biar gue bisa naik ke loteng yang sekarang dipakai untuk ruang bermain. Sehingga gue masih bisa lihat bintang dari jendela dan mengenang sisa-sisa kebersamaan gue sama Bang Gibran dan Golan.

Tetangga depan rumah juga punya anak perempuan sebaya dengan Aldi, Namanya Frea. Anak itu suka main sama Aldi di loteng. Gue kayak ngelihat kembali masa-masa kecil kami dulu. Gue jadi sayang banget sama yang namanya Aldi. Gue suka marah sama Afro kalau dia nggak mau ngalah sama adiknya. Sore hari, kalau mama mereka mau keluar untuk sebuah urusan, gue sering dimintai tolong untuk jaga mereka di loteng atau main di halaman di bawah pohon jambu.

Suatu sore, Afro sedang main sepeda. Dia ngeboncengin Aldi. Afro ngebut banget bawa sepedanya walau cuma muter-muter di halaman. Gue langsung teriakin si Afro,"Afro! Berhenti! Jangan ngebut! Nakal banget sih! Kalau Aldi jatuh gimana?" Gue marah-marahin Afro sampai dia pucet dan lari ke dalam sambil nangis. Gue hanya nggak mau Aldi jatuh lalu bernasib sama dengan Golan yang harus pakai tongkat seumur hidupnya. Gue juga nggak ingin Afro menyesal seumur hidup kayak bang Gibran.

"Mama.....Kak Neta nakal....." Afro mengadu ke mamanya. Mamanya keluar dengan penuh tanda tanya.

"Kenapa, Net?"

"Afro ngeboncengin Aldi tante. Ngebut. Saya khawatir kalau Aldinya jatuh."

"Oh, gitu....jangan ngebut kalau boncengin adiknya, Fro."

"Tapi Kak Neta nya galak banget....."

"Makanya kamu jangan ngebut....." kata gue.

"Kak Neta cuma khawatir aja, Fro...." Kata mamanya lagi.

"Sorry, Fro....maafin kak Neta ya...." Bujuk gue.

"Hemh!" Afro buang muka lantas masuk rumah.

"Biasa Net, anak-anak. Maklumi saja ya."

"Iya tante." Mama mereka masuk rumah. Tinggalah Aldi dan Frea di halaman.

"Frea, kalau kamu memang sayang sama Aldi, kamu harus jagain dia terus. Aldi juga, kalau sayang sama Frea, harus rukun terus. Jangan sampai berantem ya. Harus saling sayang. Soalnya, berpisah itu....menyakitkan...." Kedua bocah TK itu hanya saling pandang nggak ngerti.

"Kak Neta ngomong apa sih?" tanya Frea.

"Ah, enggak...."

Kerlip di LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang