BINTANG ISTIMEWA

92 4 0
                                    


Sebenarnya aku agak khawatir pada Neta sejak dia dekat lagi sama kakak kelas yang namanya Marko itu. Orangnya aneh. Tampangnya play boy. Belagu. Lagian ngapain coba dia ngedeketin Neta? Dia kan anak orang tajir, anak konglomerat, anak walikota. Jujur aja, hal itu nggak sebanding dengan anak biasa seperti Neta.

Apa karena Neta terlalu polos? Gampang ditipu? Gimana kalau dia cuma manfaatin kepolosan Neta? Cuma mempermainkan Neta? Gimana kalau Neta sampai diapa-apain? Soalnya Marko orangnya cengengesan, seenaknya, kayak nggak ada rasa tanggungjawabnya. Apalagi waktu itu dia pernah bikin Neta nangis waktu di loteng. Aku jadi kepikiran terus!

Apa yang harus aku lakukan coba? Sudah berulangkali aku ngingetin Neta agar hati-hati sama orang itu. Tapi apa sebenarnya Neta suka sama Marko? Mereka akhir-akhir ini jadi lebih akrab dari sebelumnya. Walau hubungan mereka tampak agak aneh.

Di depan Neta, kayaknya Marko itu rela melakukan apa saja. Bahkan mau merendahkan dirinya agar diterima sama Neta. Jadi jongosnya pun kayaknya mau. Apa memang Marko bener-bener suka sama Neta? Atau itu strateginya aja supaya Neta jadi melting? Sementara Neta selalu sengak, acuh tak acuh, tapi tetep ngasih respon sama Marko. Heran. Sebenarnya gimana sih perasaan Neta pada Marko?

Aku sebenarnya nggak masalah Neta tuh dekat sama siapa saja. Asal dia bahagia. Tapi dekat dengan Marko benar-benar bikin aku khawatir. Takut Neta kenapa-kenpa. Tapi sebenarnya kenapa juga aku harus khawatir ya? Ini hidup ya hidup Neta sendiri. Bukan hidupku. Ngapain aku mikirin dia sampai terlalu jauh? Itu kan urusan dia. Bukan urusanku.

Hah, kalau memang dia suka sama Marko dan si Marko itu juga bener-bener suka sama Neta, ya apa salahnya sih? Nggak ada hubungannya sama aku kan? Aku kan bukan papanya! Ngapain musti khawatir? Hah, gila! Lama-lama jadi gila aku!

*

Ayah pulang. Biasanya hanya di rumah dua minggu. Lalu balik lagi ke laut, di pertambangan minyak lepas pantai. Udah pasti bawa oleh-oleh.

"Yang bungkusnya warna ungu itu buat Neta." Kata ayah. Neta tak pernah ketinggalan. Dia selalu mendapat tempat di hati keluargaku. Apalagi di rumah ini tak ada anak perempuan. Ibu saja kalau masak sesuatu, pasti memanggil Neta agar ikut makan. Bang Gibran kalau pergi study tour atau naik gunung juga selalu bawa oleh-oleh buat Neta.

"Ayah, yang bungkusnya oranye boleh buat temanku nggak?" tanyaku. Aku teringat Aura.

"Teman yang mana lagi? Selain Neta ada lagi?"

"Yah, ayah ketinggalan berita! Ada lagi dong, Yah." Kata ibu.

"Wah, kemajuan dong!" Komentar ayah.

"Anaknya cantik lho, Yah." Ibu menggoda.

"O ya? Hebat!"

"Ibu apa-apaan sih. Orang kami cuma temenan, Bu."

"Iya, ibu tau. Teman. Teman dekat."

"Ya udah, ambil aja buat temanmu itu." Kata ayah. "Jangan lupa yang punya Neta." Neta memang special. Di mata ayah, ibu, Bang Gibran, dan juga di mataku.

*

"Golan...." Ada Aura di Line.

"Ya, ada apa, Ra?"

"Boleh fotoin catetan kimia yang kemarin itu nggak? Gue ketinggalan banyak ni catetannya."

"OK. Nanti kukirim ya."

"Makasih ya, Go."

"Iya. Sama-sama." Akhir-akhir ini Neta jarang nge Line. Aura yang jadi lebih sering. Tanya PR ini, tanya tugas itu, minta dibagi catetan, pinjam buku. Aku jadi inget sama omongan Neta waktu itu. Dia bilang Aura cuma memanfaatkanku? Ah, dia tu berlebihan!

Kerlip di LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang